LANDASAN PERKEMBANGAN PENDUDUK INDONESIA
Penduduk adalah orang atau orang-orang yang mendiami suatu tempat (kampung, negara, dan pulau) yang tercatat sesuai dengan persyaratan dan ketentuan yang berlaku di tempat tersebut. Berdasarkan tempat lahir dan lama tinggal penduduk suatu daerah dapat dibedakan menjadi empat golongan, yaitu penduduk asli, penduduk pendatang, penduduk sementara, dan tamu. Penduduk asli adalah orang yang menetap sejak lahir. Penduduk pendatang adalah orang yang menetap, tetapi lahir dan berasal dari tempat lain. Penduduk sementara adalah orang yang menetap sementara waktu dan kemungkinan akan pindah ke tempat lain karena alasan pekerjaan, sekolah, atau alasan lain. Adapun tamu adalah orang yang berkunjung ke tempat tinggal yang baru dalam rentang waktu beberapa hari dan akan kembali ke tempat asalnya.
Yang mendasari perkembangan penduduk di Indonesia adalah banyaknya masyarakat yang menikahkan anaknya yang masih muda. Dan gagalnya program keluarga berencana yang di usung oleh pemerintah untuk menekan jumlah penduduk. Karena factor – factor tersebut tidak berjalan dengan semestinya, maka penduduk Indonesia tidak terkendali dalam perkembangannya. Seharusnya dengan dua orang anak cukup, maka ini lebih dari dua orang dalam setiap suami istri. Karena perkembangan penduduk yang sangat tidak terkendali, maka banyak terjadinya kemiskinan, pengangguran, kriminalitas, gelandangan, anak jalanan, dan sebagainya. Dan masalah permukiman yang tidak efisien lagi. Banyaknya rumah yang lingkungannya kumuh dapat menyebabkan berbagai macam penyakit. Oleh sebab itu, 50% penduduk Indonesia hidup dalam kemiskinan dan keterbelakangan pendidikan.
Sumber :
Hartono, 2009, Geografi 2 Jelajah Bumi dan Alam Semesta : untuk Kelas XI Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah Program Ilmu Pengetahuan Sosial, Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, h. 34 – 46.
KEMISKINAN DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN
Kemiskinan dan kerusakan lingkungan berkorelasi positif. Bahkan keduanya memiliki hubungan kausalitas derajat polinomial. Pada derajat pertama, kemiskinan terjadi karena kerusakan lingkungan atau sebaliknya lingkungan rusak karena kemiskinan. Pada tingkatan polinomial berikutnya, kemiskinan terjadi akibat kerusakan lingkungan yang disebabkan karena kemiskinan periode sebelumnya. Hal sebaliknya berpeluang terjadi, lingkungan rusak karena kemiskinan yang dipicu oleh kerusakan lingkungan pada periode sebelumnya.
Hubungan sebab akibat itu bisa terus berlanjut pada derajat polinomial yang lebih tinggi, membentuk lingkaran setan atau siklus yang tidak berujung. Dalam kondisi seperti itu, kemiskinan semakin parah dan lingkungan semakin rusak. Semakin lama kondisi itu berlangsung, semakin kronis keadaanya. Bila sudah demikian, status kemiskinan berubah secara tidak linier. Dari miskin, ke lebih miskin, dan akhirnya miskin sekali. Tren yang sama juga terjadi juga pada kerusakan lingkungan.
Jeffrey Sachs dalam kesimpulan bukunya The End of Poverty menekankan pentingnya hubungan kemiskinan dan kerusakan lingkungan sebagai peubah penentu kesejahteraan dan kemakmuran. Menurutnya, sementara investasi pada kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur mungkin dapat mengatasi perangkap kemiskinan yang sudah ekstrem kondisinya, degradasi lingkungan pada skala lokal, regional, dan global dapat meniadakan manfaat investasi tersebut. Dengan kata lain, ada banyak variabel penting yang ikut menentukan kesejahteraan dan kemiskinan, namun lingkungan alam bisa dipandang sebagai yang terpenting.
Karena pentingnya hubungan kemiskinan dan kerusakan lingkungan, dalam Millenium Development Goals (MDGs) kedua variabel tersebut dijadikan target bersama negara-negara dunia untuk menyelesaikannya hingga periode 2015. Sementara di Indonesia, makin hari makin terasa pentingnya kedua variabel itu. Hampir di seluruh daerah, kemiskinan semakin terekspose.
Di saat dan tempat yang sama, kerusakan lingkungan makin terjadi, ditandai dengan aktivitas dan kehidupan manusia yang sudah melebihi kapasitas alam. Manusia yang miskin hidup di atas atau melampaui daya dukung (carrying capacity) sumber daya alam. Maka terjadilah hubungan lingkaran setan kemiskinan dan kerusakan alam yang sulit dicari ujung pangkalnya.
Sejak ditetapkan pada September 2000 dan diikuti dengan penatapan Milleneium Project pada 2002 di Johannesburg, Afrika Selatan oleh Kofi Annan, banyak negara dunia memberikan perhatikan serius pada pencapaian target-target yang ditetapkan. Dalam kaitan dengan pengentasan kemiskinan, tiga target yang disepakati untuk dicapai yaitu mengurangi separuh jumlah penduduk yang pendapatannya di bawah $1 sehari, mengurangi separuh jumlah penduduk yang kelaparan, serta meningkatkan jumlah ketersediaan pangan bagi orang miskin.
Target yang berkaitan keberlanjutan lingkungan adalah memadukan prinsip pembangunan berkelanjutan dalam kebijakan dan program pembangunan setiap negara, meningkatkan jumlah orang yang dapat akses air bersih, serta meningkatkan secara siginifikan kehidupan 100 juta orang yang hidup di daerah kumuh. Target-target itu membuka debat publik secara demokrasi tentang kinerja pemerintah. Partai politik juga menggunakan target-target ini untuk secara terbuka mengevaluasi kebijakan dan program pemerintah.
Presiden Brasilia, Luis Inacio da Silva, misalnya secara ekplisit mengumumkan target-target pada MDGs sebagai platform politiknya dalam pemilu. Tanpa disadari dan tak secara eksplisit diajukan, di Indonesia pun banyak calon gubernur, bupati, dan wali kota menggunakan target-target MDGs sebagai platform politik mereka dalam pilkada.
Langkah-langkah besar dan signifikan sudah dicapai Tiongkok dan Vietnam dalam mengurangi kemiskinan. Dalam kurun 1990-2002, penduduk miskin 32 persen menjadi 13 persen di Tiongkok, serta dari 51 persen menjadi 14 persen di Vietnam. Namun khususnya di Tiongkok, lingkungan alam sebagai habitat dan sumber daya ekonomi mengalami kerusakan cukup serius. Dengan kata lain, pencapaian MDGs tidak dicapai secara holistik, malahan sebaliknya tujuan atau tagetnya saling dipertentangkan.
Situasi yang sama dengan Tiongkok umumnya berlaku juga di negara-negara kawasan Amerika Latin dan Karibia. Pengentasan kemiskinan diprioritaskan sementara target lain kurang diperhatikan. Tetapi kawasan itu juga memperhatikan tiga target penting lainnya, yaitu pengurangan angka kematian bayi, penyediaan air bersih, serta peniadaan diskriminasi gender pada pasar tenaga kerja. Logikanya, kemiskinan bisa dientaskan melalui perbaikan ketiga target ini.
Di Asia Selatan, 40 persen penduduk hidup dengan kurang dari $1 sehari. Namun kemiskinan sudah jauh berkurang di kawasan ini, kecuali di Pakistan. Secara khusus, Bangladesh berhasil meningkatkan pendidikan anak dan pemuda, mengurangi malnutrisi anak, serta mengurangi insidensi HIV/AIDS.
Kawasan dunia yang termiskin, Sub-Sahara Afrika, diprediksi tidak akan berhasil mencapai target MDGs, khususnya pengurangan jumlah orang miskin. Sebaliknya, jumlah orang miskin bertambah dari 314 juta pada 2001 menjadi 366 juta pada 2015. Hanya Uganda, Ghana, dan Kamerun yang baik kinerjanya dalam hal pengentasan kemiskinan.
Tuberkolosis, malaria, dan HIV/ AIDS masih marak dan menurunkan harapan hidup serta tingkat kematian bayi. Untuk kawasan itu, keterisolasian, kerusakan sumber daya alam serta ketiadaan infrastruktur teknologi adalah alasan utama kemiskinan dan keterbelakangan.
"Triple Tracks Plus"
Di Indonesia, strategi pembangunan berbasis Triple Tracks (pro poor, pro job, dan pro growth) bisa dipandang sebagai implementasi MDGs, sudah populer, dan diadopsi oleh instansi pemerintah secara nasional. Namun statistik kemiskinan bisa menjadi dasar evaluasi sejauh mana kinerja strategi triple tracks.
Tidak untuk diperdebatkan, hanya sebagai indikator, pada 2002 jumlah penduduk miskin 36,4 juta (18,1 persen). Pada September 2006, dengan standar $1,55 sehari, jumlahnya menjadi 39,40 juta. Di saat yang sama, dilaporkan 25 persen anak, usia hingga 5 tahun, menderita gizi buruk. Juga, kematian ibu 307 per 100.000 kelahiran, atau tiga kali kematian di Vietnam dan enam kali Malaysia atau Tiongkok. Per tumah tangga, pada Januari 2006 terdapat 17,8 juta, atau 33,4 persen, rumah tangga miskin (RTM). Menurut pidato kenegaraan terakhir, ada 192 juta, atau 36,1 persen RTM. Sementara target RPJM 12,5 persen pada 2006.
Indikator statistik di atas mungkin sudah berubah dalam setahun terakhir setelah adanya bencana alam: banjir, kekeringan, tanah longsor, semburan gas Lapindo, tsunami, angin pitung beliung, taifun, dan gelombang laut yang menyerang negeri ini, yang membuat masyarakat kehilangan peluang usaha dan peluang bekerja.
Bagi petani, nelayan, dan buruh, sehari tidak bekerja, besar dampaknya bagi pendapatan mereka. Bencana alam seperti yang terus terjadi belakangan ini membuat mereka miskin atau miskin sekali setelah tidak bekerja atau kehilangan aset-aset produktifnya. Dalam kondisi miskin, apalagi sangat miskin, berbagai macam penyakit akan mudah menyerang yang pada akhirnya menurunkan usia harapan hidup.
Memang kejadian alam di luar kontrol manusia. Tetapi bencana alam mungkin lebih terjadi karena alam telanjur rusak oleh buatan tangan manusia yang miskin atau yang terlalu serakah. Manusia yang miskin dan serakah merusak alam, dan alam yang rusak memiskinkan manusia.
Celakanya mereka yang merusak alam semakin kaya sementara penduduk lainnya, sebaik dampaknya, menjadi miskin. Tetapi kesalahan itu tidak selamanya ada pada masyarakat dan penduduk. Sangat mungkin, program pemeritah di pusat dan daerah memang tidak menempatkan keberlanjutan lingkungan sebagai aspek penting. Alam dipaksa memberikan pertumbuhan ekonomi dan itu berada di atas daya dukungnya.
Maka bercermin dari banyak negara lain di dunia, yang berhasil dan tidak berhasil mengelola dan memanfaatkan alam bagi pembangunan ekonominya, serta sebagai upaya mengurangi jumlah orang miskin yang terakumulasi akibat bencana alam, sudah saatnya Indonesia mengikuti strategi Triple Track Plus. "Plus" yang dimaksud, sesuai projek MDGs, adalah pro-environment. Dengan be-gitu sejak saat ini, Indonesia mengikuti bukan lagi Triple Tracks tetapi Fourfold Tracks Strategy.
Sumber : http://www.menegpp.go.id/menegpp.php?cat=detail&id=artikel&dat=291
Pertumbuhan Penduduk dan Tingkat pendidikan
Penduduk adalah semua orang yang berdomisili di wilayah geografis Indonesia selama enam bulan atau lebih dan atau mereka yang berdomisili kurang dari enam bulan tetapi bertujuan menetap. Pertumbuhan penduduk adalah bertambah banyaknya penduduk yang mendiami suatu wilayah tertentu dalam radius satu kilometre. Jadi pertumbuhan penduduk sangat beresiko tinggi bila tidak segera di kendalikan. penduduk Pertumbuhan penduduk diakibatkan oleh tiga komponen yaitu: fertilitas, mortalitas dan migrasi. Pertumbuhan penduduk yang meningkat sangat tajam dan tidak segera di kendalikan akan mengakibatkan terjadinya kemiskinan. Banyaknya penduduk yang tidak dapat pekerjan yang layak, sehingga mereka tidak bisa membiayai sekolah anak – anaknya atau pun sekolah mereka sendiri. Oleh sebab itu, pendidikan jaman sekarang sudah sangat mahal dan di luar kemampuan masyarakat miskin. Mereka yang hidup miskin malah menjadikan anak – anak mereka untuk bekerja sebagai anak jalanan ataupun sebagai kuli bangunan. Banyaknya anak – anak jalanan sekarang ini disebabkan oleh kemiskinan yang di landa negeri ini. Pengentasan kemiskinan yang di lakukan oleh pemerintah terhalang oleh banyaknya bencana alam yang sering ditimpa negeri ini, contohnya : banjir yang terjadi dimana – mana, gempa bumi, tsunami, lumpur lapindo, angina putting beliung, dan lain sebagainya. Tingkat pendidikan sekarang ini sudah sangat maju, tetapi yang menikmati kemajuan pendidikan itu sebagian besar adalah kalangan menengah keatas. Sedangkan kalangan menengah ke bawah hanya bisa mencicipi sekolah dasar. Dan fasilitas sekolah – sekolah yang ada di desa saat ini sangatlah memprihatinkan. Banyak gedung – gedung sekolah yang sudah tidak layak huni. Tetapi pemerintah hanya tinggal diam saja dan tidak melakukan perbaikan sekolah tersebut.
Tingkat pendidikan masyarakat dapat dijadikan indikator dan gambaran mengenai kemampuan penduduk dalam menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, akan semakin tinggi kualitas orang tersebut. Untuk mengukur tinggi rendahnya pendidikan penduduk dapat dilakukan dengan cara mengelompokkan tingkat pendidikan yang pernah diperoleh, mulai dari yang tidak sekolah sampai lulusan perguruan tinggi. Jumlah anak usia SD di Indonesia yang tidak bersekolah, putus sekolah, dan lulus SD yang tidak melanjutkan ke jenjang SMP, sejak 1995 sampai 2000 diperkirakan sebesar 12,8 juta, serta jumlah anak putus SMP sebesar 4,3 juta.
Anak tidak bersekolah atau putus sekolah disebabkan berbagai faktor, seperti sistem pendidikan sekolah yang kurang fleksibel sehingga banyak anak yang kesulitan dalam menyesuaikan diri, kemiskinan orang tua, rendahnya kesadaran masyarakat bawah tentang pentingnya pendidikan, kondisi geografis, anak harus membantu perekonomian keluarga, dan pendidikan sekolah dirasakan tidak memberikan jaminan kehidupan yang lebih baik di masa depan.
Sementara itu, jumlah angkatan kerja di Indonesia terus meningkat dengan kualitas yang rendah. Hal ini dikarenakan dari 97 juta angkatan kerja pada 2000 sebagian besar (67,5%) adalah angkatan kerja yang tidak tamat SD, tidak tamat SMP, tamat SD, dan tamat SMP. Selain itu, pihak pemerintah masih belum mampu menyediakan fasilitas pendidikan formal untuk melayani semua penduduk usia sekolah yang ada di Indonesia.
(Oleh Rizky Assidiqi, Mahasiswa Fakultas Teknologi Industri Gunadarma University)
Sumber :
http: //google.com/pertumbuhan penduduk dan tingkat pendidikan
(Balitbang Diknas, 2000)
Pertambahan Penduduk dan Lingkungan Pemukiman
Pertambahan penduduk Indonesia yang tidak terkendali lagi dapat menyebabkan lahan permukiman yang semakin hari semakin sempit. Pertambahan penduduk secara berlebihan di kota terutama yang berasal dari urbanisasi menyebabkan daya
dukung dan daya tampung kota menjadi semakin menurun, salah satunya adalah berkurangnya lahan untuk permukiman. Akibat dari kurangnya lahan untuk permukiman maka dibutuhkan penambahan ruang dan lahan. Penambahan ruang dan lahan yang tidak memungkinkan lagi di dalam kota menyebabkan terjadinya pelebaran luas ke arah pinggir kota/belakang kota (hinterland). Hal seperti itu yang terjadi di DKI Jakarta, dan berkembang ke arah pinggiran termasuk daerah Depok. Akibat perluasan tersebut, maka daerah seperti kota Depok dapat dikatakan sebagai daerah suburban bagi kota Jakarta. Ditambah dengan dampak urbanisasi menimbulkan pelbagai bentuk penurunan kualitas lingkungan kota, terutama
tata ruang yang tidak memenuhi syarat, terbentuk daerah kumuh, bertambahnya jumlah sampah, meningkatnya pencemaran perairan dan tanah oleh limbah domestik. Urbanisasi juga mengakibatkan menurunnya estetika, menimbulkan ancaman terhadap peninggalanpeninggalan historis, menyempit/berkurangnya ruang terbuka, taman kota, lapangan olah raga, dan rekreasi. Semakin banyak penduduk yang bermigrasi ke kota, maka semakin sempit kota yang mereka singgahi. Lingkungan permukiman yang mereka dirikan sudah tidak layak huni karena berada di bantaran rel kereta api, kolong – kolong jembatan, emperan toko, bantaran sungai yang mencemari air, dan lain – lain. Oleh sebab, pemerintah harus bertindak tegas dengan masalah kependudukan yang semakin lama semakin mengkhawatirkan. Kalau tidak segera di atasi maka akan menimbulkan masalah yang sangat panjang.
(Oleh Rizky Assidiqi, Mahasiswa Fakultas Teknologi Industri Gunadarma University)
Sumber : http: //google.com/pertambahan penduduk
KEMISKINAN DAN KETERBELAKANGAN MENTAL
Dikarenakan Populasi kota di dunia yang sedang berkembang ini meningkat, baik dalam persayaratan-persayaratan tertentu dan sebagai suatu proporsi dari populasi secara total, sehingga sebuah tantangan besar tersisa; mengatasi Kemiskinan. Laporan pembangunan dunia dari Bank Dunia pada tahun 1990 menyoroti masalah kemiskinan. Dimana hal ini difokuskan pada Dimensi Pendapatan, “kemiskinan yang diukur dengan rendahnya pendapatan cenderung menjadi lebih buruk didaerah-daerah pedesaan”, laporan ini jelas menunjukkan meskipun memperkenankan perbedaan-perbedaan yang seringkali subtansial dalam biaya hidup antara kota dan pedesaan. Adapun konsep dalam analisis kemiskinan pada tahun 1990-an, dimana konsep tersebut adalah Konsep Vulnerability, dimana konsep ini menjadi penting dalam analisis kemiskinan pedesaan dan kota, dan dalam penyusunan kebijakan tersebut diperuntukkan untuk mengurangi kemiskinan karena pada tahun 1990-an, kemiskinan kota telah semakin menjadi pusat kebijakan. Adapun kontribusi-kontribusi yang berhubungan dengan kebijakan dalam hal pengurangan daerah kemiskinan pada tingkat Kota, menurut Jesko Hentshel dan Radha Seshagiri menjelaskan tentang hal tersebut yang disebut dengan penaksiran kemiskinan kota. Dimana setiap kota harus menyusun penaksirannya sendiri-sendiri secara berbeda-beda dan menggunakan alat-alat dan pendekatan umum dengan tujuan untuk menjawab persoalan yang dianggap paling mendesak oleh penduduk setempat. Adapun proses penaksiran bisa jadi penting dalam pembentukan kerjasama yang baru dan lebih efektif dalam penurunan kemiskinan kota. Sehingga dengan jelas bahwa kota-kota tersebut harus melihat kepada berbagai sektor yang ada dan konsep-konsep yang telah berlaku pada masyarakat sehingga kota-kota tersebut diharapkan tanggung jawabnya bagi orang-orang miskin dan Vulnerable dalam perundang-undangan mereka, pendekatan baru dan kerjasama yang lebih komplek dan inisiatif-inisiatif dibatasi agar muncul suatu penurunan kemiskinan diseluruh dunia terlebih dinegara berkembang.
KARAKTERISTIK KELUARGA MISKIN
Tugas utama gambar kemiskinan adalah menggambarkan lingkaran kehidupan miskin di kota. Perbandingan ini bisa menunjukkan bagaimana karakteristik keluarga miskin bisa berbeda, misalnya, pendapatan keluarga disatu wilayah bisa tidak mempengaruhi pelayanan dasar sedangkan ditempat lain justru mempengaruhi. Perbandingan karakteristik keluarga Miskin Dengan Kaya Sekarang tipe karakteristik lingkungan hidup yang sama bisa digunakan untuk membandingkan kelompok orang miskin dengan orang kaya. Perbandingan akan menunjukkan bahwa karakteristik orang miskin sama, keberadaan mereka dibedakan dari kelompok yang lebih baik. Contohnya, ternyata besarnya orang miskin tidak mempengaruhi faktor air, karena kurangnya populasi kota hanyalah sebagai akses semata. Karakteristik hidup orang miskin berbeda-beda disetiap tempat, sesuai dengan penghasilan yang diperoleh merupakan poin awal untuk menguji variasi objek yang akan dibuat penyesuaiannya bagi individu dalam ruang lingkup kota.
KONDISI KEMISKINAN DI INDONESIA
Kota-kota besar di Indonesia pada saat ini memang menjanjikan kesempatan dan kesejahteraan yang luas dan memperoleh kesempatan maju di kota-kota besar terutama di Indonesia. Memang menurut sensus BPS bahwa kemiskinan di Indonesia sudah menurun tajam dari 27 % dalam sensus 1980 menjadi hanya sekitar 15% saja pada sensus 1990, tetapi yang banyak terlupakan adalah bahwa dari angka rata-rata itu, kemiskinan di kota-kota besar masih tinggi persentasinya. Kemiskinan ini sendiri dikota-kota besar khususnya di Indonesia salah satu penyebabnya adalah urbanisasi, dimana para urbanis yang tidak memiliki pendidikan yang cukup, lebih-lebih pendidikan di desa cenderung rendah kualitasnya yang akibatnya para urbanis ini akhirnya jatuh miskin dikota-kota karena mereka tidak mampu bersaing dan menjadi pengganggur. Hal ini terlihat dari rata-rata laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga perbulan dari 40% penduduk berpendapatan terendah hanya sebesar 3,8 % per tahun dalam kurun waktu yang sama adalah 4, 8% per tahun, artinya pembangunan di Indonesia masih menghadapi tantangan yang masih cukup besar dari kemiskinan dan disparatis sosial. Kemiskinan dan ketimpangan, hanya sebagian saja dari beban yang cenderung bertambah berat terus, yang ditanggung oleh lingkungan dari unsur kependudukan. Sehingga banyak para ahli memandang bahwa masalah kemiskinan dan kesenjangan sebagai bom waktu, yang sewaktu-waktu dapat berkembang menjadi ledakan sosial, yang pada akhirnya dapat mengancam peri-kehidupan manusia terutama didaerah perkotaan. Disini terlihat adanya suatu kemiskinan pada kota-kota besar di Indonesia juga mengakibatkan pertambahan jumlah penduduk yang meningkat pesat yang berarti akan ada pertambahan perubahan lingkungan, yang mungkin harus dipikul dengan biaya yang tinggi yang tidak saja oleh daerah yang bersangkutan, melainkan juga oleh lingkungan yang lebih luas. Adanya pertambahan penduduk, berarti pula semakin banyak perumahan yang diperlukan. Dimana ini dapat berarti semakin terdesaknya lingkungan alami, termasuk tanah pertanian. Selain perubahan penggunaan tanah, pembangunan perumahan pun akan berakibat kepada semakin besarnya eksploitasi sumber daya alam yang digunakan untuk bahan bangunan. Sehingga masalah perumahan dan pemukiman di Indonesia, sebagaimana yang terjadi dinegara-negara yang sedang berkembang lainnya didunia, mencerminkan salah satu dampak dari proses pembangunan umumnya. Melihat penjelasan diatas, laju pertumbuhan penduduk dan urbanisasi yang cukup pesat di kota-kota besar telah menimbulkan akibat yang selalu memprihatinkan terhadap meningkatnya kebutuhan akan perumahan dan pemukiman. Pertumbuhan penduduk yang pesat tersebut saat ini belum diimbangi dengan penyediaan perumahan yang memadai. Sejak Pelita II hanya sekitar 15 % dari jumlah rumah yang dibutuhkan dapat disediakan sektor formal (BUMN dan Swasta) dalam suatu lingkungan yang direncanakan dan teratur, serta memiliki sarana dan prasarana yang diperlukan, sedangkan yang 85% disediakan melalui sektor informal. Akibatnya banyak terjadi pemukiman yang tidak teratur tanpa sarana dan prasarana yang jelas.
Kemiskinan di daerah perkotaan menyebabkan kelompok masyarakat yang berpenghasilan terendah nasibnya lebih buruk karena mereka bahkan tidak mampu untuk menempati rumah-rumah kumuh seperti yang telah dijelaskan diatas dimana dikarenakan tingginya harga tanah dan bahan bangunan menyebabkan suatu keterpaksaan membangun gubuk-gubuk liar diatas tanah-tanah kosong yang tidak diawasi oleh pemilik atau penguasanya. Banyak diantara mereka menggunakan lahan-lahan kosong yang sengaja digunakan untuk bantaran banjir, jalur kereta api dan lokasi-lokasi lain terutama yang dekat dengan tempat kerja mereka. Dilihat dari penjelasan diatas proses-proses pembangunan oleh sektor-sektor informal tersebut menghasilkan banyak lingkungan perumahan kumuh (slums) yaitu lingkungan perumahan yang padat dan tidak memiliki prasarana dan sarana lingkungan yang memenuhi syarat teknis ataupun kesehatan. Dengan melihat seluruh deskripsi diatas, maka peningkatan kebutuhan perumahan serta perkembangan permukiman kumuh dan liar akibat adanya kemiskinan kota akan semakin meningkat pesat. Memang bila ditinjau dari sisi tersebut terdapat suatu nilai pesimis untuk dapat menyediakan sarana permukiman dengan kondisi kemiskinan dan indikator ekonomi yang menurun dengan tajam pada saat ini. Oleh karena itu dalam waktu dekat ini apa yang diusahakan dan dilakukan oleh pemerintah setahap demi setahap dapat membatasi lajunya pertumbuhan. Selain itu selain kebijaksanaan pemerintah yang mencegah laju pertumbuhan secara alami dan dikarenakan urbanisasi, tetapi juga berperan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia atau penduduk kota sebagai mahkluk sosial terutama dari segi perekonomian dan pembangunan perumahan serta permukiman.
Sumber : Artikel Bulettin TERAS Dampak Kemiskinan KotaTerhadap Perumahan Dan Pemukiman Di Kota Besar Indonesia, 2009 11
Pertumbuhan Penduduk dan Penyakit yang Berkaitan dengan Lingkungan Hidup
Seiring dengan bertambahnya penduduk Indonesia maka negeri ini akan banyak menghadapi masalah, seperti : tata ruang kota yang jelek, sanitasi air limbah rumah tangga semakin parah, dan banyak bermunculan penyakit – penyakit. Wilayah kawasan kumuh menurut Bank Dunia (1999) merupakan bagian yang terabaikan dalam pembangunan perkotaan. Hal ini ditunjukkan dengan kondisi sosial demografis di kawasan kumuh seperti kepadatan penduduk yang tinggi, kondisi lingkungan yang tidak layak huni dan tidak memenuhi syarat serta minimnya fasilitas pendidikan, kesehatan dan sarana prasarana sosial budaya. Tumbuhnya kawasan kumuh terjadi karena tidak terbendungnya arus urbanisasi. Di saat banjir, lingkungan yang kumuh sering terjangkit penyakit seperti : malaria, demam berdarah, gatal –gatal, penyakit kulit, dan sebagainya. Di karenakan pada saat banjir, selokan – selokan yang ada di permukiman kumuh tersumbat oleh sampah yang mereka buang sendiri dan tata ruang kota yang kurang baik. Selain itu banyaknya wilayah hijau di perkotaan sekarang beralih fungsi sebagai bangunan – bangunan pencakar langit, mal – mal yang banyak. Sehingga daya serap air di wilayah perkotaan sangat sedikit. Dengan sedikitnya air yang di serap di wilayah tersebut maka terjadilah genangan air yang semakin lama semakin membesar dengan terjadinya hujan. Dengan terjadinya bencana banjir, maka datang lagi bencana selanjutnya yaitu penyakit yang menjadi wabah paling ampuh saat banjir. Banyaknya wabah penyakit yang di jangkit oleh masyarakat saat banjir, itu semua sangat menggangu kesehatan masyarakat. Karena air banjir membawa berbagai macam penyakit yang sebagian besar di sebarkan oleh tikus dan nyamuk. Oleh sebab itu, Langkah-langkah strategis yang perlu dilakukan untuk penataan lingkungan permukiman kumuh adalah:
1. Lebih mengefektifkan penertiban administrasi kependudukan bekerja sama dengan perangkat desa yang mewilayahi permukiman kumuh di Kota Denpasar.
2. Penataan kembali lingkungan dengan penyediaan kamar mandi dan jamban umum, program sanimas dan pengelolaan sampah swadaya di permukiman kumuh.
3. Peningkatan perilaku hidup sehat masyarakat
4. Sosialisasi kebijakan pemerintah kota terkait dengan program penataan kembali permukiman kumuh perlu lebih digalakkan dengan melibatkan kelompok masyarakat di permukiman kumuh.
5. Perlu dilakukan studi lanjutan untuk menggali informasi yang lebih luas terkait dengan penataan kembali lingkungan permukiman kumuh.
A. PENGERTIAN EKOLOGI
Ekologi berasal dari bahasa Yunani, yangterdiri dari dua kata, yaitu oikos yang artinya rumah atau tempat hidup, dan logos yang berarti ilmu. Ekologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari baik interaksi antar makhluk hidup maupun interaksi antara makhluk hidup dan lingkungannya.
Dalam ekologi, kita mempelajari makhluk hidup sebagai kesatuan atau sistem dengan lingkungannya. Definisi ekologi seperti di atas, pertama kali disampaikan oleh Ernest Haeckel (zoologiwan Jerman, 1834-1914).
Ekologi adalah cabang ilmu biologi yangbanyak memanfaatkan informasi dari berbagai ilmu pengetahuan lain, seperti : kimia, fisika, geologi, dan klimatologi untuk pembahasannya. Penerapan ekologi di bidang pertanian dan perkebunan di antaranya adalah penggunaan kontrol biologi untuk pengendalian populasi hama guna meningkatkan produktivitas.
Ekologi berkepentingan dalam menyelidiki interaksi organisme dengan lingkungannya. Pengamatan ini bertujuan untuk menemukan prinsip-prinsip yang terkandung dalam hubungan timbal balik tersebut.
Dalam studi ekologi digunakan metoda pendekatan secara rnenyeluruh pada komponen-kornponen yang berkaitan dalam suatu sistem. Ruang lingkup ekologi berkisar pada tingkat populasi, komunitas, dan ekosistem.
RUANG LINGKUP EKOLOGI
Ekologi merupakan cabang biologi, dan merupakan bagian dasar dari biologi. Ruang lingkup ekologi meliputi populasi, komunitas, ekosistem, hingga biosfer. Studi-studi ekologi dikelompokkan ke dalam autekologi dan sinekologi.
1. Populasi
Populasi yang telah didefinisikan sebagai kelompok kolektif organisme dari spesies yang sama (atau kelompok-kelompok lain di mana individu-individu dapat bertukar informasi genetiknya) yang menempati ruang dan atau waktu tertentu, memiliki berbagai ciri/sifat maupun parameter yatg unik dari kelompok dan sudah tidak merupakan sifat dari masing-masing individu pembentuknya.
2. komunitas
Komunitas biotik adalah kumpulan populasi-populasi organisme apapun yang hidup dalam daerah atau habitat fisik yang telah. ditentukan., sehingga hal tersebut merupakan satuan yang diorganisasi sedemikian rupa bahwa komunitas mempunyai sifat-sifat tambahan terhadap komponen individu beserta fungsi-fungsinya.
3. Ekosistem
Ekosistem merupakan satuan fungsional dasar yang menyangkut proses interaksi organisme hidup dengan lingkungan mereka. Istilah tersebut pada mulanya diperkenalkan oleh A.G.Tansley pada tahun 1935. Sebelumnya, telah digrrnakan istilah-istilah lain, yairu biocoenosis, dan mikrokosmos.
Setiap ekosistem memiliki enam komponen yaitu produsen, makrokonsumen, mikrokonsumen, bahan anorganik, bahan organik, dan kisaran iklim. Perbedaan antar ekosistem hanya pada unsur-unsur penyusun masing-masing komponen tersebut. Masing-masing komponen ekosistem mempunyai peranan dan mereka saling terkait dalam melaksanakan proses-proses dalam ekosistem. Proses-proses dalam ekosistem meliputi aliran energi, rantai makanan, pola keanekaragaman, siklus materi, perkembangan, dan pengendalian.
B. Azas – azas pengelolaan lingkungan
Asas-asas Lingkungan
1. Kondisi dan tata hubungan antar komponen lingkungan mempunyai keteraturan/ menganut asas tertentu.
2. Bermanfaat untuk landasan pengelolaan lingkungan.
3. Penyimpangan asas dapat mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan.
Asas-asas mengenai Sumber daya Alam
Pengertian SDA
Semua kekayaan alam (yang terdapat dalam litosfer, hidrosfer dan atmosfer) yang dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan manusia.
1. Asas 1
Semua energi yang memasuki organisme hidup, populasi atau ekosistem dapat dianggap sebagai energi yang tersimpan atau terlepaskan.
Energi dapat diubah dari satu bentuk ke bentuk
lain, tetapi tidak dapat hilang, dihancurkan, atau diciptakan.
Hukum Termodinamika I
Materi akan bergerak kemana-mana tidak ada
materi yang hilang.
Hukum Kekekalan Materi
Miller mengatakan : Kita tidak akan mendapatkan sesuatu dengan cuma-cuma:Harus ada usaha
2. Asas 2
Tidak ada sistem pengubahan energi yang benar-benar efisien.
HUKUM TERMODINAMIKA II
HUKUM ENTROPI
Pada transformasi energi terjadi
degradasi kualitas energi
Pada sistem yang kurang terkoordinasi entropi makin tinggi
3. Asas 3
Materi, energi, ruang, waktu, dan keanekaragaman, semuanya termasuk sumber daya alam.
4. Asas 4
Untuk semua kategori sumber daya alam, kalau pengadaannya sudah mencapai optimum, pengaruh unit pengadaannya sering menurun dengan penambahan sumber alam itu sampai ke suatu tingkat maksimum
Melampaui batas maksimum tidak ada pengaruh yang menguntungkan lagi
Kenaikanpengadaannyayangmelampauibatasmaksimummerusakkarenakesanperacunanasaspenjenuhan.
Untuk banyak gejala sering berlaku kemungkinan penghancuran yang disebabkan oleh pengadaan SDA yang sudah mendekati batas maksimum.
5. Asas 5
Ada dua jenis sumber daya alam, yaitu sumber alam yang pengadaannya dapat merangsang penggunaan seterusnya, dan yang tak mempunyai daya rangsang penggunaan lebih lanjut.
Contoh: Pengadaan energi: merangsang penggunaan
Pengadaan makanan: tidak meragsang penggunaan
(terbatas)
C. Keterkaitan Lingkungan Bahari dan Ekowisata
Perusakan terhadap sumber daya alam atau lingkungan alam oleh manusia di Indonesia salah satunya akibat dari keterbatasan kemampuan dalam mengelola sumber daya alam tersebut secara seimbang. Sumber daya alam Indonesia yang terbesar datang dari laut, dan dengan dicanangkannya tahun 2003 sebagai “Tahun Bahari” diharapkan mampu menumbuhkan motivasi untuk mengenal lebih dalam tentang laut dan mengoptimalkan keseimbangan pemanfaatannya.
Menurut data dari Ditjen Perikanan tahun 1991, potensi lestari ikan terumbu karang diperkirakan sebesar 800.802 ton/tahun (Arifin, 1999). Indonesi memiliki kurang lebih 7.500 km2 ekosistem terumbu karang (coral reefs) yang tersebar di seluruh wilayah pesisir dan lautan Indonesia, mencakup fringing reefs, barrier reefs, atol dan patch reefs. Luas terumbu karang Indonesia diperkirakan mencapai sekitar 600.000 km2. Terumbu karang yang dalam kondisi baik hanya 6,2 %.
Kepulauan Karimunjawa di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah menjadi fokus dari tulisan ini. Kepulauan seluas 111,625 ha, terdiri atas 7,033 ha daratan dalam bentuk 27 buah gugusan pulau yang 5 diantaranya berpenghuni, yaitu pulau Karimunjawa, pulau Kemujang, pulau pasang, pulau Nyamuk dan pulau Genting, dan 104,592 ha perairan laut, secara geografis terletak sebelah Barat Laut kota Jepara dengan jarak + 45 mil laut pada 5040’ – 5057’ Lintang Selatan dan 11004’ – 11004’ Bujur Timur.
Terumbu karang di taman nasional laut Karimunjawa tergolong cukup baik. Kegiatan kepariwisataan sudah mulai berkembang, tetapi karena keterbatasannya, perkembangannya tidak sepesat di daerah lain yang memiliki karakter sejenis. Memandang dari sisi lingkungan ini bisa berarti baik, karena memberikan peluang untuk melakukan pembenahan dan penyesuaian. Seperti layaknya terumbu karang didaerah lain di Indonesia, lingkungan biofisik di kawasan pesisir taman nasional ini menghadapi bahaya yang sangat besar, yaitu pencurian danperusakan. Sekitar 30% lingkungan ekosistem di taman nasional laut ini sudah mati atau rusak parah.
Apakah terumbu karang? Terumbu karang adalah sekumpulan hewan karang yang bersimbiosis dengan sejenis tumbuhan alga yang disebut zooxanhellae. Hewan ini disebut polip, merupakan hewan pembentuk utama terumbu karang yang menghasilkan zat kapur.
Melalui proses yang sangat lama, binatang karang yang kecil (polyp) membentuk kolobi karang yang kental, yang sebenarnya terdiri atas ribuan individu polyp. Karang batu ini menjadi pembentuk utama ekosistem terumbu karang. Walaupun terlihat sangat kuat dan kokoh, karang sebenarnya sangat rapuh, mudah hancur dan sangat rentan terhadap perubahan lingkungan. Karena posisi biofisik dan ekonominya yang sangat penting, manusia melihatnya berdasarkan latar belakang kepentingan yang berbeda, dimana melibatkan kepentingan sektor-sektor lain. Kelompok pemerhati lingkungan lebih mementingkan usaha pelestarian lingkungan di sekitar terumbu karang, artinya meminimalkan kegiatan manusia. Kelompok perikanan 1 mengatasnamakan kepentingan manusia untuk memanfaatkan kawasan pesisir semaksimal mungkin. Tapi dibalik itu semua, daerah harus mendapatkan income atau PAD (pendapatan asli daerah) untuk membiayai kepentingan yang menyokong kegiatan tersebut, termasuk kelompok pariwisata yang juga mau ikut serta memanfaatkannya. Sering kali atas alasan PAD, pemerintah lebih mengutamakan kegiatan yang akan menghasilkan pendapatan lebih besar sehingga kajian terhadap kegiatan yang dilakukan menjadi sangat lemah, yang sering berakhir dengan hancurnya lingkungan (atau melemahnya ekosistem), dan diikuti dengan menurunnya PAD. Akhirnya uang tidak dapat dan lingkungan hidup hancur. Dalam kondisi ini muncul optimisme dari sektor pariwisata untuk ikut terlibat secara positif.
D. Peran teknologi pengelolaan lingkungan
Peran teknologi pengelolaan lingkungan dalam berbagai kegiatan sangat penting artinya dalam upaya pencegahan pencemaran lingkungan. Upaya pendekatan teknologi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan harus secara maksimal diupayakan. Pencegahan pencemaran melalui proses dan produk dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi yang tidak menghasilkan atau seminimal mungkin menghasilkan limbah. Oleh karena itu pengembangan teknologi pengelolaan lingkungan dilakukan secara terus menerus. Kebanyakan perusahaan manufaktur Indonesia umumnya mempunyai kemampuan operasional yang cukup tinggi, artinya mampu menjalankan proses produksi di pabrik secara lancar, namun kemampuan akuisitif, inovatif dan adatif umumnya dilakukan oleh mitra asing, sedangkan mitra dan tenaga ahli Indonesia umumnya kurang berperan. Oleh karena itu, transfer teknologi lingkungan juga tidak berjalan lancar atau terbatas saja pada kemampuan operasional.
Transfer teknologi merupakan masalah penting terutama bagi negara berkembang. Pada kenyataanya banyak teknologi yang dijual di negara berkembang merupakan teknologi bekas yamg sudah tidak digunakan lagi karena sudah tidak memenuhi standar yang baru ataupun peraturan yang berlaku. Menghadapi masalah globalisasi di bidang lingkungan dan pembangunan, transfer teknologi akrab lingkungan menjadi masalah penting tidak hanya dalam lingkup nasional, maupun juga dalam lingkup internasional.
Permasalahan yang dihadapi berkaitan dengan teknologi lingkungan adalah sebagai berikut:
1. Teknologi lingkungan masih dianggap sebagai parameter yang memperbesar biaya produksi.
2. Tidak semua teknologi lingkungan yang diimpor sesuai dan dapat memberikan effektifitas yang sama apabila di pasang di negara pengguna.
3. Teknologi lingkungan yang ada saat ini, kebanyakan diperuntukan untuk industri besar sehingga tidak ekonomis untuk diperuntukan pada IKM/UKM.
4. Terbatasnya jenis lingkungan tepat guna dan ramah lingkungan.
5. Belum adanya mekanisme verifikasi serta menginformasikan setiap teknologi lingkungan yang handal dan layak untuk dugunakan oleh masyarakat.
Permasalahan ini harus segera ditanggulangi agar pencemaran dan pengrusakan lingkungan tidak terjadi. Peran pemerintah dalam menanggulangi permasalahan teknologi lingkungan bagi IKM/UKM dengan menyediakan teknologi berwawasan lingkungan yang harganya murah dan terjangkau merupakan rantangan yang harus segera menjadi prioritas.
Kita perlu menetapkan strategi masa depan dalam penguasaan, penerapan dan pengembangan teknologi lingkungan agar permasalahan tersebutr diatas dapat diselesaikan, yaitu:
1. Mendorong penyebaran dan pengembangan teknologi lingkungan antara institusi peneliti dengan organisasi bisnis.
2. Pemerintah memfasilitasi konsultasi diantara semua stakeholders yang terkait dalam menciptakan teknologi lokal yang baik dan cocok untuk pengelolaan lingkungan.
3. Pemerintah memberikan inisiatif pada institusi yang mengembangkan dan mengimplementasikan teknologi yang akrab lingkungan.
Untuk melaksanakan strategi tersebut perlu dilaksanakan program dalam pengembangan teknologi lingkungan antara lain:
1. Meningkatkan teknologi lanjutan, teknologi proses, teknologi produksi dan "re-engineering".
2. Kemitraan diantara institusi peneliti, perguruan tinggi dan swasta.
3. Mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna berwawasan lingkungan.
4. Menciptakan iklim kondusif untuk penyebaran dan pengembangan ilmu pengetahuan serta teknologi lingkungan.
5. Mengembangkan penelitian dan teknologi sesuai dengan hasil evaluasi terhadap kinerja teknologi yang telah diterapkan.
Peran sektor swasta sangat penting dalam mendukung kegiatan penelitian dan pengembangan teknologi lingkungan. Perlu berbagai masukan dari berbagai pihak yang bergerak di bidang pengelolaan sumber daya alam. Masing-masing perusahaan diharapkan dapat lebih meningkatkan pengelolaan lingkungan dengan terus menggunakan teknologi akrab lingkungan.
Kepustakaan
Makarim, N, MPA, MSM. Jakarta, 14 Mei 2002 Menteri Negara Lingkungan Hidup
RMP Experiences and Initiatives, 1999
coremap/html/mengenali.html
http://www.geocities.com/minangbahari/
http://rudyct.tripod.com/sem1_012/abubakar.htm
Jurnal Hukum Lingkungan Vol. V No. 1, 1999
Sumber Daya Alam
Alam pada dasarnya mempunyai sifat yang beraneka ragam, namun serasi dan seimbang. Oleh karena itu, perlindungan dan pengawetan alam harus terus dilakukan untuk mempertahankan keserasian dan keseimbangan itu.
Semua kekayaan bumi, baik biotik maupun abiotik, yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia merupakan sumber daya alam. Tumbuhan, hewan, manusia, dan mikroba merupakan sumber daya alam hayati, sedangkan faktor abiotik lainnya merupakan sumber daya alam nonhayati. Pemanfaatan sumber daya alam harus diikuti oleh pemeliharaan dan pelestarian karena sumber daya alam bersifat terbatas.
Sumber daya alam ialah semua kekayaan bumi, baik biotik maupun abiotik yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia dan kesejahteraan manusia, misalnya: tumbuhan, hewan, udara, air, tanah, bahan tambang, angin, cahaya matahari, dan mikroba (jasad renik).
Menurut urutan kepentingan, kebutuhan hidup manusia, dibagi menjadi dua sebagai berikut.
1. Kebutuhan Dasar.
Kebutuhan ini bersifat mutlak diperlukan untuk hidup sehat dan aman.
Yang termasuk kebutuhan ini adalah sandang, pangan, papan, dan
udara bersih.
2. Kebutuhan sekunder.
Kebutuhan ini merupakan segala sesuatu yang diperlukan untuk lebih
menikmati hidup, yaitu rekreasi, transportasi, pendidikan, dan hiburan.
Mutu lingkungan
Pandangan orang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memang berbeda-beda karena antara lain dipengaruhi oleh faktor ekonomi, pertimbangan kebutuhan, sosial budaya, dan waktu.
Semakin meningkat pemenuhan kebutuhan untuk kelangsungan hidup, maka semakin baik pula mutu hidup. Derajat pemenuhan kebutuhan dasar manusia dalam kondisi lingkungan disebut mutu lingkungan.
Daya dukung lingkungan
Ketersediaan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan dasar, dan tersedianya cukup ruang untuk hidup pada tingkat kestabilan sosial tertentu disebut daya dukung lingkungan. Singkatnya, daya dukung lingkungan ialah kemampuan lingkungan untuk mendukung perikehidupan semua makhluk hidup.
Di bumi ini, penyebaran sumber daya alam tidak merata letaknya. Ada bagianbagian bumi yang sangat kaya akan mineral, ada pula yang tidak. Ada yang baik untuk pertanian ada pula yang tidak. Oleh karena itu, agar pemanfaatannya dapat berkesinambungan, maka tindakan eksploitasi sumber daya alam harus disertai dengan tindakan perlindungan. Pemeliharaan dan pengembangan lingkungan hidup harus dilakukan dengan cara yang rasional antara lain sebagai berikut :
1. Memanfaatkan sumber daya alam yang dapat diperbaharui dengan
hati-hati dan efisien, misalnya: air, tanah, dan udara.
2. Menggunakan bahan pengganti, misalnya hasil metalurgi (campuran).
3. Mengembangkan metoda menambang dan memproses yang efisien,
serta pendaurulangan (recycling).
4. Melaksanakan etika lingkungan berdasarkan falsafah hidup secara
damai dengan alam.
1. Macam-macam sumber Daya Alam
Sumber daya alam dapat dibedakan berdasarkan sifat, potensi, dan jenisnya.
a. Berdasarkan sifat
Menurut sifatnya, sumber daya alam dapat dibagi 3, yaitu sebagai berikut :
1. Sumber daya alam yang terbarukan (renewable), misalnya: hewan,
tumbuhan, mikroba, air, dan tanah. Disebut ter barukan karena dapat
melakukan reproduksi dan memiliki daya regenerasi (pulih kembali).
2. Sumber daya alam yang tidak terbarukan (nonrenewable), misalnya:
minyak tanah, gas bumf, batu tiara, dan bahan tambang lainnya.
3. Sumber daya alam yang tidak habis, misalnya, udara, matahari,
energi pasang surut, dan energi laut.
b. Berdasarkan potensi
Menurut potensi penggunaannya, sumber daya alam dibagi beberapa macam, antara lain sebagai berikut.
1. Sumber daya alam materi; merupakan sumber daya alam yang
dimanfaatkan dalam bentuk fisiknya. Misalnya, batu, besi, emas,
kayu, serat kapas, rosela, dan sebagainya.
2. Sumber daya alam energi; merupakan sumber daya alam yang
dimanfaatkan energinya. Misalnya batu bara, minyak bumi, gas bumi,
air terjun, sinar matahari, energi pasang surut laut, kincir angin, dan
lain-lain.
3. Sumber daya alam ruang; merupakan sumber daya alam yang berupa
ruang atau tempat hidup, misalnya area tanah (daratan) dan
angkasa.
c. Berdasarkan jenis
Menurut jenisnya, sumber daya alam dibagi dua sebagai berikut :
1. Sumber daya alam nonhayati (abiotik); disebut juga sumber daya
alam fisik, yaitu sumber daya alam yang berupa benda-benda mati.
Misalnya : bahan tambang, tanah, air, dan kincir angin.
2. Sumber daya alam hayati (biotik); merupakan sumber daya alam
yang berupa makhluk hidup. Misalnya: hewan, tumbuhan, mikroba,
dan manusia.
Uraian di sini hanya akan ditekankan pada sumber daya alam hayati, termasuk di dalamnya sumber daya manusia (SDM).
2. Sumber Daya Tumbuhan
Berbicara tentang sumber daya alam tumbuhan kita tidak dapat menyebutkan jenis tumbuhannya, melainkan kegunaannya. Misalnya berguna untuk pangan, sandang, pagan, dan rekreasi. Akan tetapi untuk bunga-bunga tertentu, seperti melati, anggrek bulan, dan Rafflesia arnoldi merupakan pengecualian karena ketiga tanaman bunga tersebut sejak tanggal 9 Januari 1993 telah ditetapkan dalam Keppres No. 4 tahun 1993 sebagai bunga nasional dengan masing-masing gelar sebagai berikut.
1. Melati sebagai bunga bangsa.
2. Anggrek bulan sebagai bunga pesona.
3. Raffiesia arnoldi sebagai bunga langka.
Tumbuhan memiliki kemampuan untuk menghasilkan oksigen dan tepung melalui proses fotosintesis. Oleh karena itu, tumbuhan merupakan produsen atau penyusun dasar rantai makanan.
Eksploitasi tumbuhan yang berlebihan dapat mengakibatkan kerusakan dan kepunahan, dan hal ini akan berkaitan dengan rusaknya rantai makanan.
Kerusakan yang terjadi karena punahnya salah satu faktor dari rantai makanan akan berakibat punahnya konsumen tingkat di atasnya. Jika suatu spesies organisme punah, maka spesies itu tidak pernah akan muncul lagi. Dipandang dari segi ilmu pengetahuan, hal itu merupakan suatu ke rugian besar.
Selain telah adanya sumber daya tumbuhan yang punah, beberapa jenis tumbuhan langka terancam pula oleh kepunahan, misalnya Rafflesia arnoldi (di Indonesia) dan pohon raksasa kayu merah (Giant Redwood di Amerika). Dalam mengeksploitasi sumber daya tumbuhan, khususnya hutan, perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut.
a. Tidak melakukan penebangan pohon di hutan dengan semena-mena
(tebang habis).
b. Penebangan kayu di hutan dilaksanakan dengan terencana dengan
sistem tebang pilih (penebangan selektif). Artinya, pohon yang
ditebang adalah pohon yang sudah tua dengan ukuran tertentu yang
telah ditentukan.
c. Cara penebangannya pun harus dilaksanakan sedemikian rupa
sehingga tidak merusak pohon-pohon muda di sekitarnya.
d. Melakukan reboisasi (reforestasi), yaitu menghutankan kembali hutan
yang sudah terlanjur rusak.
e. Melaksanakan aforestasi, yaitu menghutankan daerah yang bukan
hutan untuk mengganti daerah hutan yang digunakan untuk keperluan
lain.
f. Mencegah kebakaran hutan.
Kerusakan hutan yang paling besar dan sangat merugikan adalah kebakaran hutan. Diperlukan waktu yang lama untuk mengembalikannya menjadi hutan kembali.
Hal-hal yang sering menjadi penyebab kebakaran hutan antara lain sebagai berikut :
a. Musim kemarau yang sangat panjang.
b. Meninggalkan bekas api unggun yang membara di hutan.
c. Pembuatan arang di hutan.
d. Membuang puntung rokok sembarangan di hutan.
Untuk mengatasi kebakaran hutan diperlukan hal-hal berikut ini.
a. Menara pengamat yang tinggi dan alat telekomunikasi.
b. Patroli hutan untuk mengantisipasi kemungkinan kebakaran.
c. Sistem transportasi mobil pemadam kebakaran yang siap digunakan.
Pemadaman kebakaran hutan dapat dilakukan dengan dua cara seperti berikut ini :
a. Secara langsung dilakukan pada api kecil dengan penyemprotan air.
b. Secara tidak langsung pada api yang telah terlanjur besar, yaitu
melokalisasi api dengan membakar daerah sekitar kebakaran, dan
mengarahkan api ke pusat pembakaran. Biasanya dimulai dari daerah
yang menghambat jalannya api, seperti: sungai, danau, jalan, dan
puncak bukit.
Pengelolaan hutan seperti di atas sangat penting demi pengawetan maupun pelestariannya karena banyaknya fungsi hutan seperti berikut ini :
1. Mencegah erosi; dengan adanya hutan, air hujan tidak langsung jatuh
ke permukaan tanah, dan dapat diserap oleh akar tanaman.
2. Sumber ekonomi; melalui penyediaan kayu, getah, bunga, hewan, dan
sebagainya.
3. Sumber plasma nutfah; keanekaragaman hewan dan tumbuhan di
hutan memungkinkan diperolehnya keanekaragaman gen.
4. Menjaga keseimbangan air di musim hujan dan musim kemarau.
Dengan terbentuknya humus di hutan, tanah menjadi gembur. Tanah
yang gembur mampu menahan air hujan sehingga meresap ke dalam
tanah, resapan air akan ditahan oleh akar-akar pohon. Dengan
demikian, di musim hujan air tidak berlebihan, sedangkan di musim
kemarau, danau, sungai, sumur dan sebagainya tidak kekurangan air.
3. Sumber Daya Hewan
Seperti pada ketiga macam bunga nasional, sejak tanggal 9-1-1995, ditetapkan pula tiga satwa nasional sebagai berikut :
1. Komodo (Varanus komodoensis) sebagai satwa nasional darat.
2. Ikan Solera merah sebagai satwa nasional air.
3. Elang jawa sebagai satwa nasional udara.
Selain ketiga satwa nasional di atas, masih banyak satwa Indonesia yang langka dan hampir punah. Misalnya Cendrawasih, Maleo, dan badak bercula satu.
Untuk mencegah kepunahan satwa langka, diusahakan pelestarian secara in situ dan ex situ. Pelestarian in situ adalah pelestarian yang dilakukan di habitat asalnya, sedangkan pelestarian ex situ adalah pelestarian satwa langka dengan memindahkan satwa langka dari habitatnya ke tempat lain.
Sumber daya alam hewan dapat berupa hewan liar maupun hewan yang sudah dibudidayakan. Termasuk sumber daya alam satwa liar adalah penghuni hutan, penghuni padang rumput, penghuni padang ilalang, penghuni steppa, dan penghuni savana. Misalnya badak, harimau, gajah, kera, ular, babi hutan, bermacam-macam burung, serangga, dan lainnya.
Termasuk sumber daya alam hewan piaraan antara lain adalah lembu, kuda, domba, kelinci, anjing, kucing, bermacam- macam unggas, ikan hias, ikan lele dumbo, ikan lele lokal, kerang, dan siput.
Terhadap hewan peliharaan itulah sifat terbarukan dikembangkan dengan baik. Selain memungut hasil dari peternakan dan perikanan, manusia jugs melakukan persilangan untuk mencari bibit unggul guns menambah keanekaragaman ternak.
Dipandang dari peranannya, hewan dapat digolongkan sebagai berikut :
a. Sumber pangan, antara lain sapi, kerbau, ayam, itik, lele, dan mujaer.
b. Sumber sandang, antara lain bulu domba dan ulat sutera.
c. Sumber obat-obatan, antara lain ular kobra dan lebah madu.
d. Piaraan, antara lain kucing, burung, dan ikan hiss.
Untuk menjaga kelestarian satwa Langka, maka penangkapan hewan-hewan dan juga perburuan haruslah mentaati peraturan tertentu seperti berikut ini :
1. Para pemburu harus mempunyai lisensi (surat izin berburu).
2. Senjata untuk berburu harus tertentu macamnya.
3. Membayar pajak dan mematuhi undang-undang perburuan.
4. Harus menyerahkan sebagian tubuh yang diburunya kepada petugas
sebagai tropy, misalnya tanduknya.
5. Tidak boleh berburu hewan-hewan langka.
6. Ada hewan yang boleh ditangkap hanya pada bulan-bulan tertentu
saja. Misalnya, ikan salmon pada musim berbiak di sungai tidak boleh
ditangkap, atau kura-kura pads musim akan bertelur.
7. Harus melakukan konvensi dengan baik. Konuensi ialah aturan-aturan
yang tidak tertulis tetapi harus sudah diketahui oleh si pemburu
dengan sendirinya. Misalnya, tidak boleh menembak hewan buruan
yang sedang bunting, dan tidak boleh membiarkan hewan buas
buruannya lepas dalam keadaan terluka.
Akan tetapi, seringkali peraturan-peraturan tersebut tidak ditaati bahkan ada yang diam-diam memburu satwa langka untuk dijadikan bahan komoditi yang berharga. Satwa yang sering diburu untuk diambil kulitnya antara lain macan, beruang, dan ular, sedangkan gajah diambil gadingnya.
Sumber Daya Mikroba
Di samping sumber daya alam hewan dan tumbuhan terdapat sumber daya alam hayati yang bersifat mikroskopis, yaitu mikroba. Selain berperan sebagai dekomposer (pengurai) di dalam ekosistem, mikroba sangat penting artinya dalam beberapa hal seperti berikut ini :
a. sebagai bahan pangan atau mengubah bahan pangan menjadi bentuk
lain, seperti tape, sake, tempe, dan oncom
b. penghasil obat-obatan (antibiotik), misalnya, penisilin
c. membantu penyelesaian masalah pencemaran, misalnya pembuatan
biogas dan daur ulang sampah
d. membantu membasmi hama tanaman, misalnya Bacillus thuringiensis
e. untuk rekayasa genetika, misalnya, pencangkokan gen virus dengan
gen sel hewan untuk menghasilkan interferon yang dapat melawan
penyakit karena virus.
Rekayasa genetika dimulai Tahun 1970 oleh Dr. Paul Berg. Rekayasa genetika adalah penganekaragaman genetik dengan memanfaatkan fungsi materi genetik dari suatu organisme. Cara-cara rekayasa genetika tersebut antara lain: kultur jaringan, mutasi buatan, persilangan, dan pencangkokan gen. Rekayasa genetika dapat dimanfaatkan untuk tujuan berikut ini :
1. mendapatkan produk pertanian baru, seperti "pomato", merupakan
persilangan dari potato (kentang) dan tomato (tomat)
2. mendapatkan temak yang berkadar protein lebih tinggi
3. mendapatkan temak atau tanaman yang tahan hama
4. mendapatkan tanaman yang mampu menghasilkan insektisida sendiri.
Akhir-akhir ini tampak bahwa penggunaan sumber daya alam cenderung naik terus, karena:
a. pertambahan penduduk yang cepat
b. perkembangan peradaban manusia yang didukung oleh kemajuan sains
dan teknologi.
Oleh karena itu, agar sumber daya alam dapat bermanfaat dalam waktu yang panjang maka hal-hal berikut sangat perlu dilaksanakan.
1. Sumber daya alam harus dikelola untuk mendapatkan manfaat yang
maksimal, tetapi pengelolaan sumber daya alam harus diusahakan
agar produktivitasnya tetap berkelanjutan.
2. Eksploitasinya harus di bawah batas daya regenerasi atau asimilasi
sumber daya alam.
3. Diperlukan kebijaksanaan dalam pemanfaatan sumber daya alam yang
ada agar dapat lestari dan berkelanjutan dengan menanamkan
pengertian sikap serasi dengan lingkungannya.
4. Di dalam pengelolaan sumber daya alam hayati perlu adanya
pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :
a. Teknologi yang dipakai tidak sampai merusak kemampuan sumber
daya untuk pembaruannya.
b. Sebagian hasil panen harus digunakan untuk menjamin
pertumbuhan sumber daya alam hayati.
c. Dampak negatif pengelolaannya harus ikut dikelola, misalnya
dengan daur ulang.
d. Pengelolaannya harus secara serentak disertai proses
pembaruannya.
5. Sumber Daya Manusia
Manusia dibedakan dari sumber daya alam hayati lainnya karena manusia memiliki kebudayaan, akal, dan budi yang tidak dimiliki oleh tumbuhan maupun hewan. Meskipun paling tinggi derajatnya, namun dalam ekosistem, manusia juga berinteraksi dengan lingkungannya, mempengaruhi dan dipengaruhi lingkungannya sehingga termasuk dalam salah satu faktor saling ketergantungan. Berbeda dengan sumber daya hayati lainnya, penggunaan sumber daya manusia dibagi dua, yaitu sebagai berikut :
a. Manusia sebagai sumber daya fisik
Dengan energi yang tersimpan dalam ototnya manusia dapat bekerja
dalam berbagai bidang, antara lain: bidang perindustrian,
transportasi, perkebunan, perikanan, perhutanan, dan peternakan.
b. Manusia sebagai sumber daya mental
Kemampuan berpikir manusia merupakan suatu sumber daya alam
yang sangat penting, karena berfikir merupakan landasan utama bagi kebudayaan. Manusia sebagai makhluk hidup berbudaya, mampu
mengolah sumber daya alam untuk kepentingan hidupnya dan mampu
mengubah keadaan sumber daya alam berkat kemajuan ilmu dan
teknologinya. Dengan akal dan budinya, manusia menggunakan
sumber daya alam dengan penuh kebijaksanaan. Oleh karena itu,
manusia tidak dilihat hanya sebagai sumber energi, tapi yang
terutama ialah sebagai sumber daya cipta (sumber daya mental) yang
sangat penting bagi perkembangan kebudayaan manusia.
Pustaka :
Biologi Kelas 1 > Pelestarian Sumber Daya Alam hayati
• Kebijakan Sumber Daya Alam
Ketersediaan Energi Kelautan
Ketersediaan sumberdaya energi diartikan sebagai kemampuan manusia untuk mendapatkan sumberdaya energi tersebut berdasarkan teknologi yang telah dikembangkan serta dengan cara yang secara ekonomi dapat diterima. Ketersediaan sumber daya energi
ditinjau dari beberapa macam aspek, yaitu :
1. keberadaan sumber daya tersebut di alam
2. ketersediaan teknologi untuk mengeksploitasi sumber daya tersebut
3. ketersediaan teknologi untuk memanfaatkan sumber daya tersebut
4. pertimbangan dalam aspek ekonomi
5. pertimbangan dampak (lingkungan, sosial)
6. kompetisi dengan penggunaan penting lainnya
Berdasarkan berbagai aspek pertimbangan tentang ketersediaan sumber daya energi yang telah disebutkan di atas, maka secara lebih praktis ketersediaan sumber daya energi didasarkan pada dua aspek penting, yaitu :
1. ketersediaan data yang cukup dan konsisten.
2. estimasi biaya yang diperlukan untuk menggali.
Untuk mengeksploitasi suatu sumber daya alam (termasuk sumber daya energi)
disamping dua pertimbangan tersebut masih diperlukan pertimbangan berikutnya yang menyangkut :
1. dampak lingkungan maupun sosial akibat eksploitasi sumber daya alam.
2. kompetisi (benturan) dengan penggunaan penting lainnya.
Laut sebagai faktor alam selama ini kurang mendapatkan perhatian dalam strategi
pengembangan energi di Indonesia. Peran laut bagi industri energi listrik saat ini, lebih dominan hanya sebagai jalur transportasi yang mengangkut pasokan bahan bakar berupa batu bara dan BBM, sebagai tempat pembuangan sisa air pendingin turbin PLTU atau bahan baku penghasil uap untuk menggerakan turbin PLTU. Lebih tepatnya laut belum menjadi objek dalam pengembangan energi di Indonesia, perannya tak lebih dari sebatas pelengkap. Menjadikan laut sebagai sumber energi alternatif pun sepertinya masih jauh dari kenyataan ibarat pungguk merindukan bulan. Padahal jika saja sejak lama kita bersahabat dengan laut, maka laut tidak lagi sebagai penghalang pasokan bagi pembangkit listrik, namun laut bisa menjadi sumber energi listrik. Peranan laut sebagai sumber energi terbarukan (renewable resources) saat ini sangat dibutuhkan, pemanfaatan sumber energi konvensional seperti minyak, gas alam cair dan batu bara selama ini terbukti selain menyebabkan problem ikutan berupa dampak lingkungan yang diakibatkannya seperti efek rumah kaca, global warming, akan tetapi juga cadangan sumber dayanya yang semakin hari semakin menyusut. Bisa dibayangkan jika kita tidak bersiap-siap sejak dini dengan mencari sumber energi alternatif, maka tentunya kita akan sangat kelabakan bila cadangan sumber energi konvensional kita telah habis.
Energi selanjutnya memanfaatkan dinamika gerakan air laut yaitu gelombang, pasang surut dan arus laut. Gelombang merupakan gerakan permukaan air laut akibat hembusan anginya. Pasang surut air laut adalah gerakan naik turunnya permukaan air laut sebagai akibat gaya gravitasi bulan. Dan terakhir, arus laut adalah aliran air laut yang terjadi karena perbedaan suhu antar lautan, arus dengan kecepatan besar biasanya di selat. Gelombang laut dapat dikonversi menjadi energi listrik dengan mengubah gerakan relatif naik turun permukaan laut menjadi gerakan untuk memutar turbin. Menurut Electric Power Research Institute, daerah samudera Indonesia sepanjang pantai selatan Jawa sampai Nusa Tenggara adalah lokasi yang memiliki potensi energi gelombang cukup besar berkisar antara 10 – 20 kW per meter gelombang. Bahkan beberapa penelitianmenyimpulkan di beberapa titik bisa mencapai 70 kW/m.
Gambar 1
Alat Pembangkit Energi Listrik dari Gelombang Laut jenis PELAMIS
Di luar negeri teknologi ini sudah mencapai tahap komersialisasi. Australia, Scotlandia, Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Finlandia, dan Belanda adalah negara-negara yang serius mengembangkan teknologi konversi energi gelombang.
Potensi berikutnya adalah energi pasang surut. Di Indonesia daerah yang potensial
adalah sebagian Pulau Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Papua, dan pantai selatan Pulau Jawa, karena pasang surutnya bisa mencapai enam meter. Untuk yang satu ini Indonesia masih ketinggalan. Perancis, Rusia dan Australia tercatat sebagai negara pioneer yang telah berhasil. Pemanfaatan energi arus laut telah dirintis oleh Kementerian Ristek. Dibawah koordinasi Ristek, Indonesia menjalin kerjasama dengan Italy dan UNIDO dalam transfer teknologi pemanfaatan energi arus laut (Marine Current Energy/MCE) dengan konstruksi KOBOLD. Kerjasama ini ditandatangani akhir Mei 2006 di Jakarta. Prototype KOBOLD yang berada di Messina-Sicilia-Italy saat ini, dapat menghasilkan energi listrik sampai 300 KW.
Gambar 2
Ragam Turbin Arus Pasang Surut Lepas Pantai
Energi Perbedaan Panas Perbedaan suhu air laut permukaan dengan suhu air pada
kedalaman 1 km minimal 20 derajat celcius. Perbedaan suhu ini dapat dikonversi menjadi energi dengan siklus Rankine. Pemanfaatan energi ini dikenal juga dengan Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC). Prinsipnya cukup sederhana, fluida akan mengalir jika terjadi perbedaan suhu, dan aliran ini dimanfaatkan menggerakkan turbin. Daerah tropis, Indonesia sangat cocok memanfaatkan teknologi ini. Lokasi ideal pada daerah antara 6 - 9°lintang selatan dan 104-109°bujur timur. Di lokasi ini pada jarak kurang dari 20 km dari pantai didapatkan suhu rata-rata permukaan laut di atas 28°C dengan perbedaan suhu permukaan dan kedalaman laut (1.000 m) sebesar 22,8°C. Menurut Harsono Soepardjo (Kompas, 2003), potensi termal mencapai 2,5 x 1023 joule. Ilustrasi sederhana, jika efisiensi konversi energi panas laut sebesar tiga persen maka
Indonesia dapat memanen daya sekitar 240.000 MW.
Gambar 3
Diagram Pembangkit Energi Listrik dari OTEC
Perkembangan teknologi konversi energi panas laut di Indonesia baru pada tahap penelitian. Sebuah pilot plant dengan jenis konversi energi panas laut landasan darat dan dengan kapasitas 100 kW dibangun di Bali Utara. Negara-negara yang telah lama mengembangkan teknologi ini antara lain Jepang di kepulauan Nauru dan Amerika di Hawaii dengan kapasitas daya mencapai 1 MW. OTEC adalah salah satu bentuk pengalihan energi yang tersimpan dari sifat air laut menjadi energi listrik. Suhu air laut akan menurun sesuai dengan bertambahnya
kedalaman. Perbedaan suhu air di permukaan dengan suhu air di bagian dalam dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan energi listrik. Perbedaan suhu secara vertical sangat besar terjadi di laut tropis sehingga Indonesia merupakan salah satu Negara yang beriklim tropis sangat pontesial untuk mengembangkan OTEC sebagai salah satu energi alternative Proses pemanfaatan perbedaan suhu air di permukaan laut, biasanya menggunakan
pusat pembangkit energi yang ditempatkan di permukaan dan dilengkapi dengan sebuah pipa panjang yang menjulur ke arah dasar laut sehingga perbedaan suhu mencapai 20°C.
Keadaan tersebut dapat terjadi pada kedalaman lebih dari 1.000 meter. Dengan menggunakan pompa, air dingin dari kedalaman dialirkan ke permukaan, selanjutnya digunakan untuk mengubah amoniak dari bentuk gas menjadi cair. Amoniak cair lalu dipanaskan oleh air hangat permukaan sehingga menguap menjadi gas kembali. Selama proses perubahan dari fase cair menjadi fase gas dan fase gas menjadi fase cair, amoniak berputar membuat siklus yang dapat menggerakan turbin sehingga dapat dihasilkan daya listrik. Gelombang laut sangat pontesial untuk dimanfaatkan sebagai energi alternatif. Pembangkit listrik selama ini sesuai dibangun di daerah perairan yang memiliki angina yang cukup kuat dan dasar perairan pesisir yang memungkinkan gelombang dapat mencapai pantai secara pararel (sejajar). Pasang surut dapat dikonversi menjadi energi listrik, terutama pada daerah-daerah teluk atau estuaria yang memiliki amplitudo pasang surut 5 samapi 15 meter. Metode yang digunakan adalah mengendalikan ketinggian muka air dengan membangun dam. Secara alami, permukaan air teluk atau kolam perairan yang dibatasi dengan bangunan permanen, akan naik dan turun setiap harinya. Energi kinetik dari gerak itulah yang kemudian digunakan untuk menggerakkan turbin pembangkit tenaga listrik. Perkiraan total energi yang dapat dihasilkan oleh pasang surut diperkirakan mencapai 3x10 6 megawatt atau 3x10 12 kilowatt. Tenaga pasang surut mulai di kembangkan secara komersial oleh perancis sejak tahun 1966. pembangkit listrik tenaga pasang surut di daerah Estuarian Rance merupakan yang pertama di dunia dan dapat menghasilkan 240 megawatt (dapat menghidupkan 102 bola lampu berkekuatan 240 watt sekaligus). Hasil analisis kecepatan angin untuk 15 lokasi pengamatan selama satu tahun diperoleh kecepatan rata-rata pada elevasi 10 m antara 0,79 m/det sampai dengan 2,4 m/det. Dengan menghitung kecepatan angin pada elevasi 24 m, 30 m, dan 50 m dapat dihasilkan potensi energinya dengan menggunakan teknologi pemanfaatan berupa turbin angin sumbu horizontal (HAWT) dan turbin angin sumbu vertikal (VAWT) masing-masing
sebesar 0,171 W/m2 sampai dengan 6,548 W/m2 dan 0,096 W/m2 sampai dengan 3,677 W/m2. Tinggi gelombang yang diperoleh dari hasil peramalan gelombang berdasarkan data angin mempunyai rentang yang relatif besar berkisar antara 0,062 m sampai dengan 8,914 m memberikan daya rata-rata sebesar 0,114 kW/m sampai dengan 3,923 kW/m berdasarkan analisis menggunakan konverter energi gelombang tipe pelampung Salter dan rakit Cockerel. Dengan metoda konvensional berupa kolam pasut terdapat tiga lokasi yang mempunyai tunggang pasut > 2 m dan kondisi geografis yang sesuai dengan adanya teluk atau selat yaitu Bagan Siapi-api, Teluk Bintuni dan Selat Muli. Daya pertahun yang dapat dibangkitkan mencapai 14.687 MWh sampai dengan 36.785 MWh.
PUSTAKA :
Departemen Energi Sumber Daya dan Mineral. 2005. Blue Print Pengelolaan Energi Nasional
2005-2025. Jakarta
Departemen Kelautan dan Perikanan. 2008. Rancangan Blue Print Pengelolaan Jasa Kelautan
dan Kemaritiman.
• Pengelolaan Sumber Daya Alam
Ketergantungan dan tidak-terpisahan antara pengelolaan sumberdaya dan keanekaragaman hayati Bangsa Indonesia ini dengan sistem-sistem sosial lokal yang hidup di tengah masyarakat bisa secara gamblang dilihat dalam kehidupan sehari-hari di daerah pedesaan, baik dalam komunitas-komunitas masyarakat adat yang saat ini populasinya diperkirakan antara 50 – 70 juta orang, maupun dalam komunitas-komunitas lokal lainnya yang masih menerapkan sebagian dari sistem sosial berlandaskan pengetahuan dan cara-cara kehidupan tradisional. Yang dimaksudkan dengan masyarakat adat di sini adalah mereka yang secara tradisional tergantung dan memiliki ikatan sosio-kultural dan religius yang erat dengan lingkungan lokalnya. Hal ini perlu kita cermati mengingat batasan pengertian ini mengacu pada “Pandangan Dasar dari Kongres I Masyarakat Adat Nusantara” tahun 1999 yang menyatakan bahwa masyarakat adat adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul secara turun-temurun di atas satu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakat.
Indonesia memiliki berbagai sumberdaya dan keanekaragaman hayati yang sangat melimpah sangat penting dan strategis artinya untuk keberlangsungan kehidupannya sebagai “bangsa”. Beragamnya keanekaragaman hayati ini bukan semata-mata karena posisi Negara Indonesia sebagai salah satu negara kaya di dunia dalam keanekaragaman hayati (mega-biodiversity), akan tetapi justru karena keterkaitannya yang erat dengan kekayaan keanekaragaman budaya lokal yang dimiliki bangsa ini (mega-cultural diversity). Para pendiri negara-bangsa (nation-state) Indonesia sejak semula sudah menyadari bahwa negara ini adalah negara kepulauan yang majemuk sistem politik, sistem hukum dan sosial-budayanya. Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” secara filosofis menunjukkan penghormatan bangsa Indonesia atas kemajemukan atau keberagaman sistem sosial yang dimilikinya.
Sudah banyak studi yang menunjukkan bahwa masyarakat adat di Indonesia secara tradisional berhasil menjaga dan memperkaya keanekaan hayati alami. Adalah suatu realitas bahwa sebagian besar masyarakat adat masih memiliki kearifan adat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Sistem-sistem lokal ini berbeda satu sama lain sesuai kondisi sosial budaya dan tipe ekosistem setempat. Mereka umumnya memiliki sistem pengetahuan dan pengelolaan sumberdaya lokal yang diwariskan dan ditumbuh-kembangkan terus-menerus secara turun temurun. Kearifan tradisional ini, misalnya, bisa dilihat pada komunitas masyarakat adat yang hidup di ekosistem rawa bagian selatan Pulau Kimaam di Kabupaten Merauke, Irian Jaya. Komunitas adat ini berhasil mengembangkan 144 kultivar ubi, atau lebih tinggi dari yang ditemukan pada suku Dani di Palimo, Lembah Baliem,yang hanya 74 varietas ubi. Di berbagai komunitas adat di Kepulauan Maluku dan sebagian besar di Irian Jaya bagian utara dijumpai sistem-sistem pengaturan alokasi (tata guna) dan pengelolaan terpadu ekosistem daratan dan laut yang khas setempat, lengkap dengan pranata (kelembagaan) adat yang menjamin sistem-sistem lokal ini bekerja secara efektif. Sampai saat ini hanya sebagian yang sangat kecil saja yang dikenal dunia ilmu pengetahuan modern tentang sistem-sistem lokal ini. Contoh di antaranya adalah pranata adat sasi yang ditemukan disebagian besar Maluku yang mengatur keberlanjutan pemanfaatan atas suatu kawasan dan jenis-jenis hayati tertentu. Contoh lainnya yang sudah banyak dikenal adalah perladangan berotasi komunitas-komunitas adat “Orang Dayak” di Kalimantan berhasil mengatasi permasalahan lahan yang tidak subur.
Dari keberagaman sistem-sistem lokal ini bisa ditarik beberapa prinsip-prinsip kearifan tradisional yang dihormati dan dipraktekkan oleh komunitas-komunitas masyarakat adat, yaitu antara lain: 1) Ketergantungan manusia dengan alam yang mensyaratkan keselarasan hubungan dimana manusia merupakan bagian dari alam itu sendiri yang harus dijaga keseimbangannya; 2) Penguasaan atas wilayah adat tertentu bersifat eksklusif sebagai hak penguasaan dan/atau kepemilikan bersama komunitas (comunal property resources) atau kolektif yang dikenal sebagai wilayah adat (di Maluku dikenal sebagai petuanan, di sebagian besar Sumatera dikenal dengan ulayat dan tanah marga) sehingga mengikat semua warga untuk menjaga dan mengelolanya untuk keadilan dan kesejahteraan bersama serta mengamankannya dari eksploitasi pihak luar. Banyak contoh kasus menunjukkan bahwa keutuhan sistem kepemilikan komunal atau kolektif ini bisa mencegah munculnya eksploitasi berlebihan atas lingkungan lokal; 3) Sistem pengetahuan dan struktur pengaturan (‘pemerintahan’) adat memberikan kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam pemanfaatan sumberdaya hutan; 4) Sistem alokasi dan penegakan hukum adat untuk mengamankan sumberdaya milik bersama dari penggunaan berlebihan, baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh orang luar komunitas; 5) Mekanisme pemerataan distribusi hasil “panen” sumberdaya alam milik bersama yang bisa meredam kecemburuan sosial di tengah-tengah masyarakat.
Prinsip-prinsip ini berkembang secara evolusioner sebagai akumulasi dari temuan-temuan pengalaman masyarakat adat selama ratusan tahun. Karenanya, prinsip-prinsip ini pun bersifat multi-dimensional dan terintegrasi dalam sistem religi, struktur sosial, hukum dan pranata atau institusi masyarakat adat yang bersangkutan. Bagaimana pun, komunitas-komunitas masyarakat adat ini telah bisa membuktikan diri mampu bertahan hidup dengan sistem-sistem lokal yang ada. Komunitas-komunitas lokal di pedesaan yang tidak lagi mendefenisikan dan menyebut dirinya sebagai masyarakat adat, juga secara berkelanjutan menerapkan kearifan (pengetahuan dan tata cara) tradisional ini dalam kehidupannya, termasuk dalam memanfaatkan sumberdaya dan keanekaragaman hayati untuk memenuhi kebutuhannya seperti pengobatan, penyediaan pangan, dan sebagainya. Masa depan keberlanjutan kehidupan kita sebagai bangsa, termasuk kekayaan sumberdaya dan keanekaragaman hayati yang dimilikinya, berada di tangan masyarakat adat yang berdaulat memelihara kearifan adat dan praktek-praktek pengelolaan sumberdaya alam yang sudah terbukti mampu menyangga kehidupan dan keselamatan mereka sebagai komunitas dan sekaligus menyangga fungsi layanan ekologis alam untuk kebutuhan mahluk lainnya secara lebih luas. Keberpihakan terhadap kearifan tradisional dengan segala pranata sosial yang mendukungnya merupakan modal awal yang utama bagi pengabdian kita terhadap keberlanjutan kehidupan kita di Indonesia.
Untuk menjamin keberlanjutan fungsi layanan sosial-ekologi alam dan keberlanjutan sumberdaya alam dalam cakupan wilayah yang lebih luas maka pendekatan perencanaan SDA dengan instrumen penataan ruang harus dilakukan dengan mempertimbangkan bentang alam dan kesatuan layanan ekosistem, endemisme dan keterancaman kepunahan flora-fauna, aliran-aliran energi sosial dan kultural, kesamaan sejarah dan konstelasi geo-politik wilayah. Dengan pertimbangan-pertimbangan ini maka pilihan-pilihan atas sistem budidaya, teknologi pemungutan/ekstraksi SDA dan pengolahan hasil harus benar-benar mempertimbangkan keberlanjutan ekologi dari mulai tingkat ekosistem lokal sampai ekosistem regional yang lebih luas. Dengan pendekatan ekosistem yang diperkaya dengan perspektif kultural seperti ini tidak ada lagi “keharusan” untuk menerapkan satu sistem PSDA untuk wilayah yang luas. Hampir bisa dipastikan bahwa setiap ekosistem bisa jadi akan membutuhkan sistem pengelolaan SDA yang berbeda dari ekosistem di wilayah lain.
Keberhasilan kombinasi beberapa pendekatan seperti ini membutuhkan partisipasi politik yang tinggi dari masyarakat adat dalam proses penataan ruang dan penentuan kebijakan pengelolaan SDA di wilayah ekosistem. Semakin tinggi partisipasi politik dari pihak-pihak berkepentingan akan menghasilkan rencana tata ruang yang lebih akomodatif terhadap kepentingan bersama yang “intangible” yang dinikmati bersama oleh banyak komunitas yang tersebar di seluruh wilayah ekosistem tersebut, seperti jasa hidrologis. Dalam konteks ini maka membangun kapasitas masyarakat adat yang berdaulat (mandiri) harus diimbangi dengan jaringan kesaling-tergantungan (interdependency) dan jaringan saling berhubungan (interkoneksi) antar komunitas dan antar para pihak. Untuk bisa mengelola dinamika politik di antar para pihak yang berbeda kepentingan seperti ini dibutuhkan tatanan organisasi birokrasi dan politik yang partisipatif demokrasi (participatory democracy).
Kondisi seperti ini bisa diciptakan dengan pendekatan informal, misalnya dengan membentuk “Dewan Konsultasi Multi-Pihak tentang Kebijakan Sumber Daya Alam Wilayah/Daerah” atau “Forum Multi-Pihak Penataan Ruang Wilayah/Daerah” yang berada di luar struktur pemerintahan tetapi secara politis dan hukum memiliki posisi cukup kuat untuk melakukan intervensi kebijakan. Untuk wilayah/kabupaten yang populasi masyarakat adatnya cukup banyak, maka wakil masyarakat adat dalam lembaga seperti ini harus ada
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
Jakarta, Kompas - Sebanyak 12 undang-undang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan tidak konsisten dalam substansinya. Kondisi itu memprihatinkan tidak hanya masa sekarang, tetapi justru bagi masa depan pengelolaan lingkungan.
Kesimpulan itu muncul dalam kajian kritis yang disampaikan pada Pertemuan Nasional Pengarusutamaan Lingkungan Hidup dalam Perencanaan Pembangunan Daerah yang diadakan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup di Jakarta, Senin (23/3). ”Hampir semua UU mengacu pada Pasal 33 UUD, tetapi orientasinya saling berbeda,” kata salah satu pengkaji, guru
besar Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Maria SW Sumardjono.
Ada tujuh aspek tolok ukur yang digunakan tim pengkaji, yakni orientasi, akses memanfaatkan, hubungan negara dengan obyek, pelaksana kewenangan negara, hubungan orang dengan obyek, hak asasi manusia, dan tata pemerintahan yang baik (good governance).
Pada aspek orientasi, ada yang prorakyat, prokapital, dan ada juga yang mengombinasikan keduanya. ”Ada yang semangatnya konservasi, ada yang eksploitasi, atau keduanya. Kalau tujuannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, semestinya ada akses yang memungkinkan bagi rakyat,” kata Maria.
Faktanya, ada beberapa contoh UU yang berpotensi menyimpang dari memakmurkan rakyat, berpotensi meminggirkan hak masyarakat adat, membatasi akses publik, propemodal, dan tidak sepenuhnya menjunjung HAM.
Undang-undang itu di antaranya UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan, UU No 41/1999 tentang Kehutanan, UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, serta UU No 31/2004 tentang Perikanan.
Menurut pengajar Institut Pertanian Bogor (IPB), Ernan Rustiadi, dengan model pengelolaan SDA seperti sekarang yang cenderung bermuara pada swasta, maka kerusakan dan habisnya sumber daya hanya soal waktu.
Ciri khas pengelolaan sumber daya alam (SDA), negara mengambil kekuasaan dari masyarakat adat sebelum diberikan kepada swasta. ”Masing-masing sektor masih memiliki pandangan berbeda tentang istilah dan pemanfaatan SDA,” katanya.
*Peran legislatif *
Guru besar Hukum UGM Nurhasan Ismail mengatakan, masih ada kesempatan membangun konsistensi pada UU terkait SDA dan lingkungan. Salah satunya peran DPR untuk menyaring atau menyinkronkan visi dan misi UU yang diajukan banyak sektor.
”Bila tak dilakukan, sampai sumber daya alam habis juga tak akan pernah konsisten. DPR bisa lakukan itu, tidak lagi hanya urusan politiknya saja,” ujarnya.
Ia menilai egosektoral yang tercermin pada UU sudah parah. Masing-masing departemen/kementer ian melihat bahwa UU yang diajukan departemen lain merupakan kompetitor dengan pemahaman menang-kalah. ”Selama begitu ya tidak akan pernah konsisten,” kata Nurhasan.
Maria mengatakan, syarat lain pengarusutamaan pengelolaan SDA dan lingkungan yang ideal, selain keberadaan satu lembaga pengoordinasi, adalah adanya satu UU yang menjadi pijakan bersama. Ia menyebut RUU Pengelolaan SDA yang sejak tahun 2001 belum juga disahkan DPR.
”Nantinya seluruh UU yang ada (harus) menyesuaikan dengan pijakan bersama yang berisi prinsip-prinsip itu,” kata Maria. Tanpa itu, ia menilai pengarusutamaan akan sangat berat diwujudkan. (GSA).......
PUSTAKA :
Ovalhanif's Weblog.htm
KOMPAS.COM
• Karakteristik Ekologi Sumber Daya Alam
Memahami pembangunan hutan selama lebih dari 100 tahun di Indonesia khususnya hutan di Jawa, dan lebih dari 35 tahun pengusahaan hutan alam di luar Jawa, telah memberikan suatu pembelajaran yang panjang dan melelahkan. Mempelajari sejarah yang panjang itu tidak pula dengan serta merta dapat digunakan untuk melakukan prediksi dan memotret kemungkinan melakukan pengelolaan hutan pada masa yang akan datang. Mengapa demikian? Karena situasi yang melatar belakangi berbeda secara signifikan, utamanya jika di lihat dari aspek perkembangan penduduk , kemajuan teknologi, dan pemenuhan kebutuhan sosial masyarakatnya. Namun demikian mempelajari dua model pengelolaan hutan di Jawa dan luar Jawa yang dilaksanakan selama ini adalah keniscayaan pula. Mengapa niscaya karena tidak mungkin melakukan prediksi pengelolaan sumberdaya hutan pada masa yang akan datang tanpa melihat pengalaman masa lalu. Baik dan buruk, gagal dan berhasilnya sebuah model pengelolaan hutan pasti dapat dijadikan bahan rujukan dan evaluasi.
Tulisan ini bukan evaluasi pada sistem pengelolaan hutan yang sudah ada, tetapi lebih memperdalam aspek sosial politik dan kebijakan yang selama ini ada dan bagaimana aspek tersebut di analisis untuk mengembangkan dan membangun sumberdaya alam hutan pada masa yang akan datang. Satu catatan penting yang selama ini kurang mendapat perhatian dengan serius di kalangan rimbawan adalah memahami sumberdaya alam hutan dari perspektif non-teknis yaitu perspektif sosial politik yang kemudian berdampak kepada model kebijakan yang diambil. Pertanyaan dasar yang akan di jawab adalah bagaimana seharusnya posisi dan peran pemerintah (pusat dan daerah) dalam pengelolaan hutan waktu yang akan datang?
Aspek politik pengelolaan sumberdaya hutan akan membahas hubungan negara dan rakyat atas sumber daya alam hutan, merumuskan aktor-aktor para pihak yang terlibat dalam pengelolaan hutan ke depan, pengaruh politik global atas eksploitasi sumberdaya alam, kapitalisme lingkungan, dan model-model politik ekologi yang pro rakyat. Pada bahasan politik ini akan disintesa langkah-langkah model rehabilitasi dan konservasi pengelolaan hutan sesuai dengan masalah dan potensi kawasan hutannya.
Aspek Sosial pengelolaan sumberdaya hutan akan membahas interaksi masyarakat dengan sumberdaya hutan, relasi masyarakat dengan lahan, kemiskinan penduduk di sekitar kawasan hutan, konflik laten tentang tenurial, dan peluang masyarakat aktif dalam pengelolaan hutan negara dan sumberdaya hutan lainnya.
Identifikasi politik dan sosial di atas akan di analisis melalui sintesa teori-teori pembangunan yang berkembang di dunia dan relevansinya dengan problematika kekinian dan masa yang akan datang di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia. Pendekatan ini dilakukan sebagai suatu kristalisasi pemikiran kami selama beberapa tahun ini, yang terus terang sangat prihatin dengan kondisi kemunduran kualitas dan kuantitas sumberdaya alam hutan tropika Indonesia. Beberapa pertanyaan yang akan di jawab dalam tulisan ini adalah :
(1) benarkah ada konspirasi teori-teori pembangunan terhadap model-model pembangunan sumberdaya hutan?; (2) Adakah persoalan kemiskinan masyarakat desa hutan terkait dengan akses sumberdaya alam hutan ? ;(3) apakah n-ach masyarakat untuk mencapai kesejahteraan punya relevansi dengan hilangnya tertib sosial, tertib hukum, dan kerusakan sumberdaya alam hutan?; dan (4) Prospek kebutuhan kebijakan pemerintah seperti apa yang relevan untuk mempertahankan eksisitensi dan mengelola sumberdaya hutan indonesia masa yang akan datang ? Eksplorasi pemikiran di atas akan dilengkapi dengan contoh-contoh kasus di lapangan.
Rencana tindakan pengelolaan sumberdaya hutan yang kami maksud di sini adalah pengelolaan pada tataran tingkat kawasan hutan. Kategori keadaan kawasan hutan Indonesia saat ini adalah sebagai berikut:
(1) di usahakan dengan model HPH aktif dan tidak aktif
(2) kawasan hutan tanaman
(3) kawasan hutan lindung
(4) kawasan hutan konservasi
(5) kawasan hutan tidak bertuan khususnya di kawasan eks HPH nakal
Karekteristik butir (1) sampai (4) menghadapi masalah yang telah diuraikan di atas. Pada semua karakteristik tersebut muncul konflik pemanfaatan antar pengusaha dan masyarakat lokal dan masyarakat adat. Penyelesaiaan masalah butir (1) sampai (4) telah diupayakan oleh pemerintah melalui berbagai macam program seperti PMDH, perhutanan sosial, HKm, PHBM, PHBMR dan PHOR. Upaya-upaya tersebut sesungguhnya sudah dalam konsep pemikiran yang tidak sepenuhnya berorientasi pada investasi dan juga tidak sepenuhnya kepada teori strukturalis / ketergantungan, tetapi model teori yang dipakai adalah masuk pada model artikulasi formasi sosial, yang banyak dipakai dalam pembangunan pemberdayaan masyarakat. Walaupun program-program tersebut sudah dilaksanakan tetapi harus pula diakui bahwa ternyata belum cukup efektif untuk mencapai tujuaannya. Menurut kami ada yang belum sempurna dalam program tersebut yaitu kemampuan SDM pengelola belum mampu menyesuaikan diri dengan perubahan ke model artikulasi formasi sosial tersebut. Kemudiannya juga pergantian kebijakan oleh pemerintah cenderung menghasilkan tindakan tidak produktif, sementara kebijakan terdahulu belum menghasilkan apa-apa. Masyarakat sering melihat tindakan seperti ini sebagai tindakan yang membingungkan rakyat dan petugas pemerintah di daerah. Akhirnya betul-betul tidak produktif hasilnya, yaitu “kebingungan untuk melangkah”.
Kami mempunyai keyakinan yang tinggi bahwa pengelolaan sumberdaya hutan pada masa yang akan datang, di abad 21 ini jangan lagi bertumpu kepada satu model saja, hanya model HPH, hanya model hutan rakyat saja, hanya model BUMN saja. Pengalaman selama ini dengan hanya bertumpu pada BUMN dan BUMS saja, model tersebut tidak mampu menjaga amanah kelestarian hutannya. Sementara hutan rakyat swadaya yang sangat tidak diprioritaskan justru menunjukkan keberhasilan yang memuaskan. Semakin variatif model pengelolaannya maka semakin kaya alternatif kita. Biodiversitas model pengelolaan sumberdaya hutan sangat diperlukan karena kita memiliki kondisi geografis yang berbeda antar wilayah. Katakanlah seperti maluku dan Mentawai akan lebih sesuai pengelolaan sumberdaya hutannya dengan pendekatan pulai dan ekosistem. Mari kita belajar dari teori artikulasi formasi sosial ini untuk mengembangkan sumberdaya hutan kita di Indonesia. Jangan pernah melakukan kesalahan dua kali. Seperti pepatah mengatakan “keledai saja tidak mau melakukan kesalahan dua kali”. Pada saat yang sama kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan tidak lagi dapat mengasumsikan yang sangat normatif, tetapi harus berangkat dari realitas sosial dan politik lokal dimana hutan itu ada. Yang selalu harus dipertahankan oleh semua pemangku pengelolaan hutan adalah fungsi hutan tidak boleh hilang dari muka bumi Indonesia. Inilah Khittah rimbawan yang tidak boleh terlupakan oleh siapapun.
Publik juga jangan salah mengartikan tentang pendekatan artikulasi formasi sosial. Pendekatan ini tentu dikembangkan melalui analisis multistakeholders yang menjamin transparansi, keadilan, dan kebersamaan. Contoh kegiatan penelitian dan aksi lapangan di kabupaten Tebo adalah upaya resolusi konflik yang dapat diterima semua pihak . Kita memerlukan “tool” penyelesaian masalah yaitu model pemetaan partisipatif, karena model inilah yang mampu diukur secara riil di lapangan. Penyelesaiaan masalah hanya menyandarkan pada kebijakan pemerintah pusat sering tidak dapat menyelesaikan masalah di lapangan.
Catatan penutup yang penting adalah bahwa kita sudah memiliki banyak pembelajaran dalam pengelolaan sumberdaya hutan seperyi yang diuaraikan di atas. Setuju atau tidak sistem pengelolaan sumberdaya alam kita di Indonesia sangat dipengaruhi oleh politik ekonomi nasional. Model pengusahaan skala besar adalah gambaran dari intervensi teori pembangunan modernis itu. Munculnya pembuktian lain bahwa usaha kehutanan skala kecil seperti model-model hutan rakyat ternyata lebih sustensi dibanding usaha yang pendekatannya kapitalistik, membuktikan kepada kita bahwa usaha pengelolaan skala besar itu (BUMN dan BUMS) harus belajar dari keberhasilan rakyat tersebut, dan kemudian mencoba membangun hutan dengan spirit yang sama dengan hutan-hutan yang dikelola dengan skala kecil. Kita memerlukan kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan masa depan yang dibentuk melalui model artikulasi formasi sosial. Skema-skema bisnis tetap dapat dikembangkan dengan baik walaupun sistem pengeloaan sumberdaya hutan dirumuskan dan dilaksanakan atas pendekatan formasi sosial. Setiap masyarakat memiliki N-Ach dan seharusnya semangat N-Ach ini di dorong ke arah yang positif bukan untuk merusak sumberdaya alam hutan. Semoga tulisan ini berfmanfaat dan dapat merefleksi pada diri kita masing-masing. Inilah refleksi pemikiran kami tentang hal-hal yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya hutan dari perspektif sosial dan kebijakan.
Pustaka :
Posted by SAA | Posted on 06-03-2010 | Category : Makalah
• Daya Dukung Lingkungan
Ruang Terbuka Hijau (RTH) aktual tahun 1999 yang luasnya mencapai 41% dari Iuas wilayah Jakarta, mempunyai kandungan biomassa hijau 330.556 ton. Kondisi ini hanya mampu mendukung sekitar dua per tiga penduduknya. Berkurangnya ruang terbuka hijau maka daya dukung untuk memenuhi kebutuhan udara bersih bagi penduduk menurun pula. Hal ini akan memberikan dampak negatif yakni penurunan kualitas lingkungan hidup di wilayah tersebut. Hal ini diperkuat dengan penelitian yang menginformasikan terjadinya penurunan Iuas RTH 13 DAS yang melalui Jakarta dari tahun 1970 - 2000 di seluruh wilayahnya, dari Iuas RTH tahun 1970 yakni 52.179.33 ha berubah menjadi 15.117.77 ha pada tahun 2000. Dalam paparan di BPLHD DKI Jakarta dinyatakan bahwa meningkatnya luas bangunan beton, plesteran dan aspal ± 18.798,5 ha atau + 28,7% Iuas daratan Jakarta, hingga menyebabkan tingginya laju limpasan air
hujan dan laju tingkat erosi 152,7 ton/ha/tahun pada wilayah kikisan, serta meluasnya wilayah endapan sebagai akibat hasil sedimentasi yang berpengaruh, bahkan memberikan dampak terhadap semakin meluasnya wilayah genangan musiman ± 5.640 ha atau 8,6% dari luas daratan Jakarta. Dengan meningkatnya bangunan berdinding kaca f 4.061 ha atau 6,25 % dari luas daratan Jakarta, menyebabkan meningkatnya kutub-kutub panas kota, yaitu dari suhu udara rata-rata dari 28°C menjadi 29,1°C. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, tampak bahwa telah terjadi kerusakan lingkungan. Secara mendasar kondisi lingkungan hidup terus menurun di kawasan perkotaan, dikarenakan terus menurunnya luas daerah terbuka, sehingga menurunkan daya dukung lingkungan (fungsi ekologi vegetasi) Kota Jakarta. Berkaitan dengan permasalahan di atas, yaitu perubahan penggunaan tanah menyebabkan menurunnya daya dukung lingkungan, tujuan penelitian ini adalah Pertama, mengetahui hubungan antara jenis penggunaan tanah dan perubahannya dengan daya dukung lingkungan di wilayah Kota Jakarta. Kedua, mengetahui kapasitas daya dukung lingkungan di wilayah Kota Jakarta. Ketiga, mengetahui kaitan antara manusia
dengan perubahan penggunaan tanah dan daya dukung di wilayah Kota Jakarta. Pendekatan penelitian dilakukan secara kuantitatif dengan menggunakan metode expostfactoyang dibahas secara deskriptif analitis. Data yang digunakan berupa data table dan peta yang diambil dari instansi terkait. Daya dukung yang diteliti hanya fungsi ekologis vegetasi yakni memperbaiki suhu (ameliorasi iklim) dan penyerap air hujan (hidrologis).
Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah: Pertama, suhu dan air larian dipengaruhi oleh jenis penggunaan
tanah, yaitu:
(a) perbedaan jenis penggunaan tanah menyebabkan perbedaan suhu yang terjadi. Lokasi
sekitar Kantor Walikota Jakarta Barat memiliki suhu paling rendah dari lokasi lainnya. Wilayah Kota
Jakarta Timur tahun 2003 memiliki suhu paling rendah dari Jakarta Pusat dan Kota Jakarta Selatan.
(b)perbedaan jenis penggunaan tanah menyebabkan perbedaan air larian. Lokasi Kantor Walikota Jakarta Barat persentase air larian lebih sedikit dari lokasi lainnya. Wilayah Kota Jakarta Timur air larian lebih sedikit dari Wilayah Kota Jakarta Pusat dan Selatan. Hal ini menunjukkan bahwa luasan vegetasi punya peran dalam perbedaan suhu dan air larian sebagal daya dukung lingkungan hidup dalam hal fungsi ekologis, maka terlihat kaitan antara penggunaan tanah dengan daya dukung lingkungan hidup. Kedua, perubahan penggunanan tanah menyebabkan penurunan Iuasan vegetasi yang berakibat dengan berubahnya suhu dan kemampuan untuk meresapkan air, sehingga air larian menjadi meningkat. Tahun 1940 penggunaan tanah terbangun dan terbuka proporsinya adalah 20 : 80, sedangkan tahun 2003 penggunaan tanah terbangun dan terbuka proporsinya adalah 74 : 26, hal ini menyebabkan: (a) Jakarta pada tahun 1940 suhu masih dibawah
angka 27°C (suhu nyaman) yakni 26,48°C, sedangkan pada tahun 2003 suhu sudah melebihi suhu nyaman yakni suhu mencapai angka 31,48°C. (b) Persentase air larian pada tahun 1940 adalah 22% dari volume hujan setahun, sedangkan tahun 2003 telah mencapal 60.38% dari volume ar hujan setahun. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan penggunaan tanah menyebabkan penurunan luasan vegetasi, yang mengakibatkan perubahan daya dukung lingkungan hidup dalam hai fungsi ekologis, sehingga suhu dan air larian meningkat. Hal ini menunjukkan adanya kaitan antara perubahan penggunaan dan penurunan daya dukung Iingkurigan hidup di wilayah Jakarta. Ketiga, kapasitas daya dukung Jakarta tahun 1940 masih melebihi 100% sedangkan tahun 2003 menurun 86,76% untuk memperbaiki suhu (ikiim), sedangkan kapasitas daya dukung menyerap air hujan tahun 1940
masih 100% sedangkan tahun 2003 menurun menjadi 66,25% setahun, untuk proporsi penggunaan tanah terbangun dengan terbuka 76 : 24 pada tahun 2003. Berdasarkan hal ini maka pada tahun 2010 sesuaidengan Rencana Umum Tata Ruang Jakarta proporsi penggunaan tanah terbangun dengan terbuka 87 : 13 dapat diprediksikan suhu menjadi lebih panas dan air larian meningkat yang menjadi potensi banjir akan semakin meluas. Keempat, manusia tidak hanya jumiahnya yang mempengaruhi perubahan penggunaan tanah, melainkan aktivitas yang membutuhkan ruang. Tahun 1940 jenis pekerjaan adalah lebih banyak petani sehingga luasan lahan pertanian (sawah, ladang, kebun, tambak) masih luas. Tahun 2003 luasan permukiman lebih luas dari lahan pertanian. Hal ini menggambarkan profesi petani tergantikan dengan profesi non petani (pegawai, jasa, di!). (b) perubahan penggunaan tanah memberikan dampak pada penurunan daya dukung lingkungan yakni kenaikan suhu dan menyebabkanbanjir yang berkibat timbulnya biaya perbaikan dan biaya pengobatan. Berdasarkan hasii peneiitian ini maka beberapa saran yang diajukan adalah sebagai berikut: Pertama, pemerintah hares melakukan pemantauan perubahan penggunaan tanah dan mempertahankan luasan vegetasi yang masih ada serta meningkatkan kualitasnya, agar tercipta strata tajuk yang Iengkap dan rapat agar fungsi ekologinya meningkat. Kedua, pemerintah dan masyarakat perlu meningkatkan kuantitas luasan vegetasi dengan cara membuat tanaman rambat dengan jaring di dinding (rumah, perkantoran atau pertokoan) atau membuat pot tanaman yang diletakkan vertikal di sepanjang dinding, yang disesuaikan dengan jenis tanaman dan estetika. Ketiga, memperbesar kuantitas air hujan yang terserap ke dalam tanah dengan memberlakukan secara ketat pelaksanaan sumur resapan di rumah perkantoran dan pertokoan, sehingga dapat menjadi asupan air tanah agar tidak terjadi dampak banjir di musim hujan dan kekurangan air di musim kemarau. Keempat, membangun sumur resapan dan saluran air di sepanjang jalan, baik jalan utama maupun jalan lokal, sebagai tempat limpasan air saat hujan, serta membuat saluran air tersebut juga berfungsi sebagai sarana resapan air dengan tidak membuat bagian dasamya kedap air.
Kemampuan lingkungan untuk memulihkan secara alami
Lingkungan secara alami memiliki kemampuan untuk memulihkan keadaannya, Pemulihan keadaan ini merupakan suatu prinsip bahwa sesungguhnya lingkungan itu senantiasa arif menjaga keseimbangannya.
Sepanjang belum ada gangguan “paksa” maka apapun yang terjadi, lingkungan itu sendiri tetap bereaksi secara seimbang” Perlu ditetapkan daya dukung lingkungan untuk mengetahui kemampuan lingkungan menetralisasi parameter pencemar dalam rangka pemulihan kondisi lingkungan seperti semula.
Apabila bahan pencemar berakumulasi terus menerus dalam suatu lingkungan, sehingga lingkungan tidak punya kemampuan alami untuk menetralisasinya yang mengakibatkan perubahan kualitas. Pokok permasalahannya adalah sejauh mana perubahan ini diperkenankan.
Tanaman tertentu menjadi rusak dengan adanya asap dari suatu pabrik, tapi tidak untuk sebahagian tanaman lainnya.
contoh : dengan buangan air pada suatu sungai mengakibatkan peternakan ikan mas tidak baik pertumbuhannya, tapi cukup baik untuk ikan lele dan ikan gabus.
Berarti daya dukung lingkungan untuk kondisi kehidupan ikan emas berbeda dengan daya dukung lingkungan untuk kondisi kehidupan ikan lelelgabus, Kenapa demikian, tidak lain karena parameter yang terdapat dalam air tidak dapat dinetralisasi lingkungan untuk kehidupan ikan emas.
Ada saatnya makhluk tertentu dalam lingkungan punya kemampuan yang luar biasa beradaptasi dengan lingkungan lain, tapi ada kalanya menjadi pasif terhadap faktor luar. Jadi faktor daya dukung tergantung pada parameter pencemar dan makhluk yang ada dalam lingkungan.
Pustaka :
Rahayu Setyowati S. 2009
http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=103795