Selasa, 19 Oktober 2010

KEMISKINAN MENYEBABKAN KERUSAKAN LINGKUNGAN

KEMISKINAN DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN

Kemiskinan dan kerusakan lingkungan berkorelasi positif. Bahkan keduanya memiliki hubungan kausalitas derajat polinomial. Pada derajat pertama, kemiskinan terjadi karena kerusakan lingkungan atau sebaliknya lingkungan rusak karena kemiskinan. Pada tingkatan polinomial berikutnya, kemiskinan terjadi akibat kerusakan lingkungan yang disebabkan karena kemiskinan periode sebelumnya. Hal sebaliknya berpeluang terjadi, lingkungan rusak karena kemiskinan yang dipicu oleh kerusakan lingkungan pada periode sebelumnya.

Hubungan sebab akibat itu bisa terus berlanjut pada derajat polinomial yang lebih tinggi, membentuk lingkaran setan atau siklus yang tidak berujung. Dalam kondisi seperti itu, kemiskinan semakin parah dan lingkungan semakin rusak. Semakin lama kondisi itu berlangsung, semakin kronis keadaanya. Bila sudah demikian, status kemiskinan berubah secara tidak linier. Dari miskin, ke lebih miskin, dan akhirnya miskin sekali. Tren yang sama juga terjadi juga pada kerusakan lingkungan.

Jeffrey Sachs dalam kesimpulan bukunya The End of Poverty menekankan pentingnya hubungan kemiskinan dan kerusakan lingkungan sebagai peubah penentu kesejahteraan dan kemakmuran. Menurutnya, sementara investasi pada kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur mungkin dapat mengatasi perangkap kemiskinan yang sudah ekstrem kondisinya, degradasi lingkungan pada skala lokal, regional, dan global dapat meniadakan manfaat investasi tersebut. Dengan kata lain, ada banyak variabel penting yang ikut menentukan kesejahteraan dan kemiskinan, namun lingkungan alam bisa dipandang sebagai yang terpenting.

Karena pentingnya hubungan kemiskinan dan kerusakan lingkungan, dalam Millenium Development Goals (MDGs) kedua variabel tersebut dijadikan target bersama negara-negara dunia untuk menyelesaikannya hingga periode 2015. Sementara di Indonesia, makin hari makin terasa pentingnya kedua variabel itu. Hampir di seluruh daerah, kemiskinan semakin terekspose.

Di saat dan tempat yang sama, kerusakan lingkungan makin terjadi, ditandai dengan aktivitas dan kehidupan manusia yang sudah melebihi kapasitas alam. Manusia yang miskin hidup di atas atau melampaui daya dukung (carrying capacity) sumber daya alam. Maka terjadilah hubungan lingkaran setan kemiskinan dan kerusakan alam yang sulit dicari ujung pangkalnya.

Sejak ditetapkan pada September 2000 dan diikuti dengan penatapan Milleneium Project pada 2002 di Johannesburg, Afrika Selatan oleh Kofi Annan, banyak negara dunia memberikan perhatikan serius pada pencapaian target-target yang ditetapkan. Dalam kaitan dengan pengentasan kemiskinan, tiga target yang disepakati untuk dicapai yaitu mengurangi separuh jumlah penduduk yang pendapatannya di bawah $1 sehari, mengurangi separuh jumlah penduduk yang kelaparan, serta meningkatkan jumlah ketersediaan pangan bagi orang miskin.

Target yang berkaitan keberlanjutan lingkungan adalah memadukan prinsip pembangunan berkelanjutan dalam kebijakan dan program pembangunan setiap negara, meningkatkan jumlah orang yang dapat akses air bersih, serta meningkatkan secara siginifikan kehidupan 100 juta orang yang hidup di daerah kumuh. Target-target itu membuka debat publik secara demokrasi tentang kinerja pemerintah. Partai politik juga menggunakan target-target ini untuk secara terbuka mengevaluasi kebijakan dan program pemerintah.

Presiden Brasilia, Luis Inacio da Silva, misalnya secara ekplisit mengumumkan target-target pada MDGs sebagai platform politiknya dalam pemilu. Tanpa disadari dan tak secara eksplisit diajukan, di Indonesia pun banyak calon gubernur, bupati, dan wali kota menggunakan target-target MDGs sebagai platform politik mereka dalam pilkada.

Langkah-langkah besar dan signifikan sudah dicapai Tiongkok dan Vietnam dalam mengurangi kemiskinan. Dalam kurun 1990-2002, penduduk miskin 32 persen menjadi 13 persen di Tiongkok, serta dari 51 persen menjadi 14 persen di Vietnam. Namun khususnya di Tiongkok, lingkungan alam sebagai habitat dan sumber daya ekonomi mengalami kerusakan cukup serius. Dengan kata lain, pencapaian MDGs tidak dicapai secara holistik, malahan sebaliknya tujuan atau tagetnya saling dipertentangkan.

Situasi yang sama dengan Tiongkok umumnya berlaku juga di negara-negara kawasan Amerika Latin dan Karibia. Pengentasan kemiskinan diprioritaskan sementara target lain kurang diperhatikan. Tetapi kawasan itu juga memperhatikan tiga target penting lainnya, yaitu pengurangan angka kematian bayi, penyediaan air bersih, serta peniadaan diskriminasi gender pada pasar tenaga kerja. Logikanya, kemiskinan bisa dientaskan melalui perbaikan ketiga target ini.

Di Asia Selatan, 40 persen penduduk hidup dengan kurang dari $1 sehari. Namun kemiskinan sudah jauh berkurang di kawasan ini, kecuali di Pakistan. Secara khusus, Bangladesh berhasil meningkatkan pendidikan anak dan pemuda, mengurangi malnutrisi anak, serta mengurangi insidensi HIV/AIDS.

Kawasan dunia yang termiskin, Sub-Sahara Afrika, diprediksi tidak akan berhasil mencapai target MDGs, khususnya pengurangan jumlah orang miskin. Sebaliknya, jumlah orang miskin bertambah dari 314 juta pada 2001 menjadi 366 juta pada 2015. Hanya Uganda, Ghana, dan Kamerun yang baik kinerjanya dalam hal pengentasan kemiskinan.

Tuberkolosis, malaria, dan HIV/ AIDS masih marak dan menurunkan harapan hidup serta tingkat kematian bayi. Untuk kawasan itu, keterisolasian, kerusakan sumber daya alam serta ketiadaan infrastruktur teknologi adalah alasan utama kemiskinan dan keterbelakangan.

"Triple Tracks Plus"

Di Indonesia, strategi pembangunan berbasis Triple Tracks (pro poor, pro job, dan pro growth) bisa dipandang sebagai implementasi MDGs, sudah populer, dan diadopsi oleh instansi pemerintah secara nasional. Namun statistik kemiskinan bisa menjadi dasar evaluasi sejauh mana kinerja strategi triple tracks.

Tidak untuk diperdebatkan, hanya sebagai indikator, pada 2002 jumlah penduduk miskin 36,4 juta (18,1 persen). Pada September 2006, dengan standar $1,55 sehari, jumlahnya menjadi 39,40 juta. Di saat yang sama, dilaporkan 25 persen anak, usia hingga 5 tahun, menderita gizi buruk. Juga, kematian ibu 307 per 100.000 kelahiran, atau tiga kali kematian di Vietnam dan enam kali Malaysia atau Tiongkok. Per tumah tangga, pada Januari 2006 terdapat 17,8 juta, atau 33,4 persen, rumah tangga miskin (RTM). Menurut pidato kenegaraan terakhir, ada 192 juta, atau 36,1 persen RTM. Sementara target RPJM 12,5 persen pada 2006.

Indikator statistik di atas mungkin sudah berubah dalam setahun terakhir setelah adanya bencana alam: banjir, kekeringan, tanah longsor, semburan gas Lapindo, tsunami, angin pitung beliung, taifun, dan gelombang laut yang menyerang negeri ini, yang membuat masyarakat kehilangan peluang usaha dan peluang bekerja.

Bagi petani, nelayan, dan buruh, sehari tidak bekerja, besar dampaknya bagi pendapatan mereka. Bencana alam seperti yang terus terjadi belakangan ini membuat mereka miskin atau miskin sekali setelah tidak bekerja atau kehilangan aset-aset produktifnya. Dalam kondisi miskin, apalagi sangat miskin, berbagai macam penyakit akan mudah menyerang yang pada akhirnya menurunkan usia harapan hidup.

Memang kejadian alam di luar kontrol manusia. Tetapi bencana alam mungkin lebih terjadi karena alam telanjur rusak oleh buatan tangan manusia yang miskin atau yang terlalu serakah. Manusia yang miskin dan serakah merusak alam, dan alam yang rusak memiskinkan manusia.

Celakanya mereka yang merusak alam semakin kaya sementara penduduk lainnya, sebaik dampaknya, menjadi miskin. Tetapi kesalahan itu tidak selamanya ada pada masyarakat dan penduduk. Sangat mungkin, program pemeritah di pusat dan daerah memang tidak menempatkan keberlanjutan lingkungan sebagai aspek penting. Alam dipaksa memberikan pertumbuhan ekonomi dan itu berada di atas daya dukungnya.

Maka bercermin dari banyak negara lain di dunia, yang berhasil dan tidak berhasil mengelola dan memanfaatkan alam bagi pembangunan ekonominya, serta sebagai upaya mengurangi jumlah orang miskin yang terakumulasi akibat bencana alam, sudah saatnya Indonesia mengikuti strategi Triple Track Plus. "Plus" yang dimaksud, sesuai projek MDGs, adalah pro-environment. Dengan be-gitu sejak saat ini, Indonesia mengikuti bukan lagi Triple Tracks tetapi Fourfold Tracks Strategy.

Sumber : http://www.menegpp.go.id/menegpp.php?cat=detail&id=artikel&dat=291

Tidak ada komentar:

Posting Komentar